AJI Serukan Penghormatan terhadap Kebebasan Pers di Tengah Peringatan WPFD 2025

Istimewa - Aksi AJI Surabaya di depan gedung Grahadi Surabaya

KabarIndonesia.id — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengingatkan pemerintah dan masyarakat luas mengenai urgensi menghormati dan melindungi kebebasan pers dalam momentum Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day/WPFD) yang jatuh pada 3 Mei 2025.

“Tren serangan terhadap kebebasan pers kian mengkhawatirkan. Terbaru, saat peliputan Hari Buruh 1 Mei kemarin, sejumlah jurnalis menjadi korban kekerasan di berbagai daerah ketika menjalankan tugas jurnalistik,” ungkap Nany Afrida, Ketua Umum AJI Indonesia.

Insiden tersebut menambah panjang daftar kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Hingga 3 Mei 2025, AJI mencatat 38 kasus kekerasan terhadap pekerja pers. Dua insiden terjadi dalam dua hari pertama bulan Mei. Sementara, pada April tercatat delapan kasus dan puncaknya terjadi pada Maret dengan 14 kasus.

Laporan awal tahun ini selaras dengan hasil studi AJI Maret 2025, yang menyatakan 75,1 persen jurnalis di Indonesia pernah mengalami kekerasan baik fisik maupun digital. Studi tersebut melibatkan 2.020 jurnalis sebagai responden dari seluruh penjuru negeri.

“Kondisi kebebasan pers kian memburuk. Masa depan jurnalisme independen berada di ujung tanduk,” ujar Nany. Ia menyoroti bahwa dalam era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, ruang perlindungan terhadap jurnalis semakin menyempit.

Fenomena ini diperkuat oleh laporan World Press Freedom Index 2025 dari Reporters Without Borders (RSF) yang dirilis pada 2 Mei lalu. Indonesia merosot ke peringkat 127 dari 180 negara. Pada 2024, Indonesia berada di posisi 111, dan tahun sebelumnya menempati peringkat 108.

“AJI meyakini bahwa jurnalis adalah penjaga utama demokrasi yang sehat. Dalam situasi krisis demokrasi seperti saat ini, Hari Kebebasan Pers tidak sekadar seremoni melainkan seruan untuk menggalang solidaritas, melawan represi, dan membela jurnalisme yang bermutu dan berpihak kepada kepentingan publik,” tegas Nany.

Untuk memperkuat semangat tersebut, AJI menggelar aksi dan diskusi serentak di 34 kota tempat AJI berjejaring. Mereka juga menyoroti dampak dari maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan berkurangnya peluang kerja jurnalis terhadap kualitas informasi yang beredar di tengah masyarakat.

Tema WPFD 2025, “Reporting in the Brave New World: The Impact of Artificial Intelligence on Press Freedom and the Media”, menjadi tantangan nyata bagi media dan jurnalis untuk memperkuat profesionalisme serta kapasitas mereka di tengah gelombang perubahan digital.

AJI menilai kehadiran kecerdasan buatan (AI) dalam ekosistem media sebagai keniscayaan yang harus dihadapi, terlebih ketika model bisnis media yang berkelanjutan masih belum menemukan bentuk final.

Pemanfaatan AI dalam proses produksi berita memang menjanjikan efisiensi, mulai dari transkrip otomatis hingga penyuntingan teks. Namun, setiap hasil tetap harus melalui verifikasi dan konfirmasi oleh jurnalis manusia untuk menjaga akurasi dan konteks.

“Perusahaan media wajib memprioritaskan peran jurnalis. Meskipun teknologi dapat membantu, ia tak akan mampu menggantikan kepekaan dan kemampuan jurnalis dalam membaca situasi serta melakukan pengecekan fakta yang akurat,” kata Adi Marsiela dari Bidang Internet AJI Indonesia.

Seruan etis ini juga berlaku bagi para kreator konten digital. Kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak terbatas pada profesi jurnalis, namun semua pihak yang menyebarkan informasi bertanggung jawab untuk menjaga integritas dan akuntabilitas, terutama saat menggunakan teknologi AI di berbagai platform.

Risiko bias algoritma, kurangnya transparansi dari pengembang AI, serta proses editorial yang tergesa dapat menghasilkan konten yang menyesatkan dan merusak kepercayaan publik. Terlebih bila teknologi AI yang digunakan dikembangkan oleh perusahaan yang tidak memahami konteks sosial-politik Indonesia.

“Kami mendorong seluruh perusahaan media untuk mengikuti panduan resmi dari Dewan Pers terkait penggunaan AI. Selain itu, perlu ada kebijakan internal yang tegas dan pelatihan berkelanjutan bagi jurnalis dalam pemanfaatan teknologi ini,” lanjut Adi.

Ia juga menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap potensi penyalahgunaan teknologi AI oleh pihak-pihak yang ingin mengintimidasi atau mengawasi jurnalis karena kritik yang mereka sampaikan. Hal ini dapat mengancam kebebasan dan keselamatan jurnalis serta merusak prinsip transparansi dan akuntabilitas pemerintahan yang demokratis.