Dua Hakim Nonaktif Pemberi Vonis Bebas Ronald Tannur Tak Ajukan Banding, Fokus Perbaikan Diri

Dua Hakim Nonaktif PN Surabaya Divonis 7 Tahun Penjara, Terima Suap Vonis Bebas Ronald Tannur

KabarIndonesia.id — Dua hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik dan Mangapul, memutuskan tidak mengajukan banding atas vonis tujuh tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Vonis ini dijatuhkan atas keterlibatan mereka dalam kasus suap dan gratifikasi terkait pemberian vonis bebas kepada terdakwa pembunuhan, Ronald Tannur, pada tahun 2024.

Keputusan tidak mengajukan banding disampaikan oleh penasihat hukum keduanya, Philipus Harapenta Sitepu, usai proses pemindahan kedua terdakwa dari Rutan Kejaksaan Agung ke Rutan Salemba, Jumat (9/5).

“Keputusan ini diambil setelah diskusi dalam keadaan tenang. Pak Erintuah dan Mangapul ingin fokus memperbaiki diri dan keluarga,” ujar Philipus saat ditemui di Jakarta, Sabtu (10/5/2025).

Philipus juga menyampaikan permohonan maaf kliennya kepada masyarakat Indonesia, institusi Mahkamah Agung, serta keluarga korban. Ia menegaskan bahwa kedua hakim berharap diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan kelak dapat kembali menjadi pribadi yang bermanfaat di tengah masyarakat.

Dalam kasus ini, ketiganya—Erintuah, Mangapul, dan hakim nonaktif lainnya, Heru Hanindyo—didakwa menerima suap sebesar total Rp4,67 miliar, termasuk Rp1 miliar dalam rupiah dan 308.000 dolar Singapura (senilai sekitar Rp3,67 miliar). Mereka juga disebut menerima gratifikasi dalam berbagai mata uang asing seperti dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi.

Erintuah dan Mangapul dinyatakan melanggar Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu, Heru Hanindyo, yang juga terlibat dalam kasus pembebasan Ronald Tannur, telah dijatuhi hukuman lebih berat, yakni 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Kasus ini menyita perhatian publik karena menyangkut integritas lembaga peradilan dan sorotan tajam terhadap praktik suap dalam proses hukum di Indonesia.