KabarIndonesia.id — Johanis Tanak, yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjalani tes wawancara untuk calon pimpinan (capim) KPK periode 2024-2029 di Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Dalam wawancara tersebut, ia dicecar pertanyaan terkait riwayat kasus etik yang pernah dialaminya selama memimpin KPK. Salah satu penguji, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Dadang Trisasongko, menanyakan pemahaman Tanak mengenai kode etik.
Tanak menekankan pentingnya kode etik bagi pimpinan KPK serta seluruh jajaran KPK dan pegawai negeri secara umum, meskipun kode etik itu tidak selalu tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Ia mengatakan bahwa kode etik adalah induk dari ilmu hukum yang harus dipatuhi dalam menjalankan tugas.
Selain itu, Tanak juga menjelaskan mengenai riwayat kasus etik yang melibatkan dirinya. Kasus tersebut bermula dari komunikasinya dengan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, yang kemudian menjadi perhatian Dewan Pengawas KPK. Tanak mengklarifikasi bahwa komunikasi tersebut hanya sebatas hubungan pertemanan lama, dan ia tidak mengetahui bahwa rekannya saat itu menjabat sebagai pejabat di Dirjen Minerba.
Tanak juga menyinggung soal pesan singkat terkait prosedur pengurusan izin Izin Usaha Pertambangan (IUP), yang ia kirimkan saat berkomunikasi dengan pihak terkait. Sebelum bertugas di KPK, ia sering memberikan pendapat hukum dalam kapasitasnya sebagai jaksa di Kejaksaan Agung. Namun, setelah menjadi pimpinan KPK, Tanak mengaku belum memahami aturan ketat di lembaga tersebut yang melarang komunikasi informal terkait tugas.
Ketika ditanya soal konflik kepentingan, Tanak menjelaskan bahwa konflik kepentingan muncul ketika ada keterkaitan antara tugas dan kewenangan seseorang dengan hal-hal lain yang tidak seharusnya dilakukan, dan ia mengakui pentingnya menjaga integritas untuk menghindari situasi tersebut.