Kaesang Pangarep dan Rompi “Putra Mulyono”: Strategi Komunikasi di Tengah Kritik

Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep mengenakan rompi bertuliskan Putra Mulyono' di Desa Daru, Jambe, Kabupaten Tangerang./Ist

KabarIndonesia.id — Akhir-akhir ini, perhatian publik tertuju pada Kaesang Pangarep, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sekaligus anak Presiden Joko Widodo, yang mengenakan rompi bertuliskan “Putra Mulyono” saat blusukan. Aksi ini bukan sekadar lelucon; banyak pengamat menilai bahwa rompi tersebut merupakan alat untuk merefleksikan kritik yang diarahkan kepada keluarga Jokowi dan berpotensi menjadi bumerang bagi Kaesang sendiri.

Isu ini semakin memanas seiring dengan rumor yang menyebutkan bahwa Kaesang terlibat dalam gratifikasi, berupa private jet. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan, apakah penggunaan rompi tersebut merupakan upaya Kaesang untuk mendapatkan simpati publik di tengah tekanan opini yang kian meningkat? Menurut Adi Prayitno, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, rompi tersebut justru mencerminkan keinginan Kaesang untuk melawan balik para pengkritiknya, bukan sekadar mencari simpati.

Persepsi publik terhadap rompi Kaesang semakin dipertajam dengan hadirnya editan-editan kreatif di media sosial terkait tulisan “Putra Mulyono”. Istilah seperti “adik fufufafa” dan berbagai bentuk sindiran lainnya muncul sebagai respons atas pernyataan Kaesang. Adi menjelaskan, hal ini menggambarkan adanya tawuran opini antara Kaesang dan kelompok-kelompok kritis yang selama ini aktif menyoroti setiap langkahnya.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Brawijaya, Verdy Firmantoro, menambahkan bahwa rompi “Putra Mulyono” tidak berhubungan langsung dengan isu private jet yang menyeruak. Menurutnya, upaya Kaesang ini lebih merupakan respons terhadap kritik publik yang terus berkembang. “Isu Mulyono yang sedang diarahkan oleh Kaesang tidak akan menghapus isu private jet, karena titik panas perhatian masyarakat masih akan tetap berada di situ,” ungkap Verdy. Ia juga menilai tindakan Kaesang sebagai bagian dari strategi manajemen kesan untuk merespons kritik yang diterimanya.

Dalam situasi yang semakin dinamis ini, Kaesang tampaknya memahami bahwa segala langkahnya dipantau ketat oleh publik. Rompi “Putra Mulyono”, yang pada awalnya diharapkan dapat mencairkan suasana dan meningkatkan simpati, justru berisiko menambah kompleksitas situasi yang dihadapinya. Kesadaran akan bagaimana persepsi masyarakat dapat berbalik menjadi tantangan tersendiri di tengah derasnya opini negatif yang berkembang di media sosial.

Sebagai penutup, fenomena rompi “Putra Mulyono” mencerminkan ketegangan antara figur publik dan masyarakat. Kaesang, yang berusaha menjalin koneksi dengan publik, harus tetap waspada bahwa setiap tindakannya dapat ditafsirkan bermacam-macam. Di era komunikasi digital ini, kekuatan opini publik bukanlah hal yang bisa diremehkan, dan Kaesang tampaknya tidak terkecuali dalam menghadapi tantangan tersebut.