Keputusan PT Timah Beri Peluang ke Pesaing Jadi Sorotan Hakim di Sidang Harvey Moeis

Sidang kasus korupsi Harvey Moeis./Ist

KabarIndonesia.id — Dalam sebuah sidang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis, 19 September 2024, jaksa menghadirkan Eko Zuniarto Saputro, staf Direktorat Sumber Daya Manusia PT Timah Tbk, sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Kasus ini mencuat ke permukaan akibat dugaan adanya kolusi dalam pengelolaan bijih timah, khususnya terkait dengan interaksi PT Timah dan perusahaan pesaingnya, yaitu PT Refined Bangka Tin (PT RBT).

Dalam persidangan, hakim menunjukkan keheranan yang mendalam terkait langkah PT Timah dalam memberikan kesempatan kepada PT RBT dan afiliasinya dalam pengumpulan bijih timah. Pertanyaan yang diajukan hakim mencakup sejumlah aspek prosedural mengenai pengeluaran Surat Perintah Kerja (SPK), serta kejelasan apakah penunjukan PT RBT sebagai mitra dijustifikasi melalui proses tender yang transparan.

Saksi Eko Zuniarto Saputro mengakui bahwa ia tidak terlibat langsung dalam proses penerbitan SPK dan menjelaskan bahwa ia hanya mengetahui adanya penanyaan dari pihak PT RBT mengenai rincian biaya dan teknis peleburan di unit metalogi PT Timah. Namun, ketika hakim mempertanyakan mengapa PT Timah tidak membuka kerja sama tersebut melalui mekanisme tender, Eko mengungkapkan keterbatasan pengetahuannya mengenai proses pengeluaran SPK yang ada di unit penambangan.

Hakim menekankan bahwa pengeluaran SPK kepada perusahaan yang memiliki afiliasi dengan PT Timah adalah langkah yang mencolok, terutama mengingat bahwa PT RBT adalah kompetitor langsung. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas dan transparansi proses kerjasama serta keputusan internal yang diambil dalam manajemen sumber daya perusahaan yang seharusnya bersaing secara adil.

Menariknya, dalam kursi terdakwa, terdapat beberapa pelaku kunci termasuk Harvey Moeis, yang mewakili PT RBT, dan dua direktur lainnya. Jaksa penuntut umum menekankan bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus ini sangat signifikan, diperkirakan mencapai Rp 300 triliun, sebuah angka yang mencerminkan besarnya dampak yang dirasakan oleh perekonomian negara.

Kasus ini tidak hanya mengemukakan potensi kerugian finansial, tetapi juga mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Dengan penegakan hukum yang semakin ketat terhadap praktik korupsi, kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya integritas dalam sektor industri, terutama yang melibatkan sumber daya yang sangat berharga seperti timah.

Dalam konteks yang lebih luas, persidangan ini membuka ruang bagi diskusi mengenai tata kelola perusahaan yang transparan dan akuntabel, serta perlunya pemeriksaan yang lebih ketat terhadap proses pengadaan dan kerja sama antar perusahaan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Ke depan, harapannya adalah agar pengelolaan sumber daya negara dilakukan dengan penuh tanggung jawab demi kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan ekonomi yang lebih baik.