Ketua Komisi II DPR Nilai Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Kontradiktif

Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda

KabarIndonesia.id — Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan model pemilu nasional dan pemilu lokal terkesan bertentangan dengan putusan sebelumnya.

“Putusan MK ini kita bandingkan dengan putusan MK sebelumnya terkesan kontradiktif, karena sebelumnya pada 2019 MK memberikan putusan yang dalam pertimbangan hukumnya, memberikan guidance kepada pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari enam model keserentakan pemilu,” ujar Rifqinizamy di kompleks parlemen, Jakarta, Senin.

Ia mengungkapkan, keserentakan pemilu sejatinya telah diterapkan pada 2024 lalu. Namun, tiba-tiba pada 2025, MK mengeluarkan putusan baru yang langsung memutuskan pemisahan pemilu nasional dan lokal.

“Bukan memberikan peluang kepada kami sebagai pembentuk undang-undang untuk menetapkan satu dari enam model di dalam revisi UU Pemilu, tetapi MK sendiri yang menetapkan salah satu model,” tambahnya.

Menurut Rifqinizamy, langkah MK tersebut berpotensi membuka ruang tafsir yang melampaui kewenangan dan bahkan bisa menabrak konstitusi. Ia menegaskan DPR RI saat ini belum mengambil sikap resmi, sebab masih dalam tahap mempelajari substansi putusan tersebut.

“Izinkan kami melakukan penelaahan secara serius terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,” katanya.

Ia juga menekankan pentingnya pendalaman lebih lanjut dengan tetap mengedepankan prinsip partisipasi publik yang bermakna dalam merespons putusan MK tersebut.

Sebelumnya, MK memutuskan pemilu nasional dan daerah harus diselenggarakan secara terpisah, dengan jeda waktu paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan. Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu lokal mencakup pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah.

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6).