KabarIndonesia.id — Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer menuai sorotan tajam dan memicu polemik publik. Seorang orang tua murid sekaligus pengacara dari kantor hukum Defacto & Partners Law Office, Adhel Setiawan, secara resmi melaporkan kebijakan ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jumat (9/5), karena dinilai melanggar hak asasi manusia dan menyimpang dari tujuan dasar pendidikan.
Adhel mengkritik tajam pendekatan militeristik terhadap siswa yang dinilai nakal. “Saya ingin kebijakan itu dihentikan karena kami menilai kebijakan ini sarat dengan dugaan pelanggaran HAM,” tegasnya. Ia menilai Gubernur Dedi tidak memahami filosofi pendidikan yang memanusiakan manusia.
Menurut Adhel, anak didik bukan objek untuk dibentuk dengan cara kaku, apalagi dengan metode disiplin militer. Ia menegaskan bahwa banyak kenakalan remaja muncul akibat kurangnya ruang dialog dan bimbingan dari lingkungan sekitar, bukan karena karakter yang harus “dihardik”.
Adhel juga mengkhawatirkan potensi kekerasan dalam barak dan mempertanyakan kurikulum pendidikan yang digunakan. “Apa jaminannya metode ini menyelesaikan masalah kenakalan remaja? Dan apakah prosesnya menjamin tanpa kekerasan?” ujarnya.
Selain itu, ia menyoroti aspek hukum dari kebijakan ini. Menurutnya, tidak ada dasar hukum yang membolehkan militer terlibat langsung dalam pendidikan anak. “Kebijakan ini cenderung merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang karena tidak memiliki legitimasi hukum,” imbuhnya.
Menanggapi kritik tersebut, Gubernur Dedi Mulyadi menyatakan bahwa program ini hadir sebagai bentuk respons terhadap permintaan orang tua yang sudah tidak mampu menangani anak-anak mereka. “Kalau orangtuanya tidak menyerahkan, kita tidak menerima. Ini bukan paksaan,” ujar Dedi.
Dedi juga menyebut bahwa siswa yang ikut program barak militer justru merasa nyaman dengan rutinitas dan pembinaan yang diterapkan. “Gizinya cukup, istirahat cukup, olahraga cukup, pembelajaran juga cukup,” katanya.
Menariknya, kebijakan Dedi mendapat dukungan dari Menteri HAM Natalius Pigai. Ia menyebut program ini sebagai bentuk pendidikan karakter yang tidak melanggar HAM. Bahkan, Pigai menyarankan agar kebijakan ini dapat dijadikan model nasional jika terbukti berhasil.
“Kalau efektif, ini bisa diatur melalui regulasi agar diterapkan secara nasional,” kata Pigai.
Kontroversi ini membuka perdebatan besar antara pendekatan disiplin ketat dan pendekatan humanistik dalam pendidikan, serta memunculkan pertanyaan serius tentang batas kewenangan kepala daerah dalam merumuskan kebijakan pendidikan tanpa payung hukum yang jelas.