KabarIndonesia.id — Crazy Rich PIK Helena Lim, mantan Direktur Utama PT Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, serta Direktur PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) MB Gunawan kembali menghadapi sidang kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022.
Pada sidang kasus korupsi timah hari ini, Vina Eliani, Direktur Keuangan PT Timah Tbk, mengungkapkan bahwa perusahaan mengalami kerugian finansial setelah menjalin kerja sama dengan lima smelter. Kerugian tersebut disebabkan oleh penurunan harga bijih timah dan tingginya beban bunga pinjaman.
“Berdasarkan data yang kami miliki, harga bijih timah memang menurun pada tahun 2019 dan 2020. Di sisi lain, kami menghadapi beban bunga yang cukup tinggi pada dua tahun tersebut,” jelas Vina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, Rabu, 4 September 2024.
Vina melaporkan bahwa PT Timah mengalami kerugian sebesar Rp 611 miliar pada 2019 dan Rp 340 miliar pada 2020, sehingga total kerugian mencapai Rp 951 miliar. Selain itu, pada 2023, PT Timah kembali mengalami kerugian sebesar Rp 400 miliar. Dengan demikian, total kerugian selama tiga tahun kerja sama dengan smelter mencapai Rp 1,35 triliun.
Lebih lanjut, Vina mengungkapkan bahwa setelah mengakhiri kerja sama dengan kelima smelter—yaitu PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), dan PT Tinindo Internusa—perusahaan mencatat laba sebesar Rp 1,3 triliun pada 2021 dan Rp 1 triliun pada 2022. Sebelum kerja sama tersebut, PT Timah juga meraih keuntungan sebesar Rp 132 miliar pada 2018.
“Setelah perjanjian kerja sama dihentikan, PT Timah mencatat laba,” kata Vina.
Vina menjelaskan bahwa selama periode kerugian, perusahaan menghadapi penurunan harga bijih timah meskipun volume produksi dan persediaan meningkat, serta beban bunga pinjaman yang tinggi akibat pinjaman untuk operasional.
Kerja sama dengan lima smelter melibatkan pembagian jatah lima persen dari kuota ekspor bijih timah dan sewa peralatan pengolahan untuk pengolahan timah.
Kejaksaan Agung telah menetapkan 22 tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah Tbk untuk periode 2015 hingga 2022. Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menghitung kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, meningkat dari estimasi awal kerugian negara sebesar Rp 271 triliun.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, menyatakan bahwa pihaknya telah meminta BPKP untuk mengaudit kasus tersebut, dan hasil audit menunjukkan bahwa kerugian negara mencapai Rp 300,003 triliun. Kerugian ini terdiri dari kerugian kerja sama PT Timah Tbk dengan smelter swasta sebesar Rp 2,285 triliun, kerugian atas pembayaran bijih timah kepada PT Timah sebesar Rp 26,649 triliun, dan kerugian lingkungan sebesar Rp 271,1 triliun.
Penghitungan kerugian ekologis dilakukan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bambang Hero Saharjo, melalui analisis citra satelit dari 2015 hingga 2022. Izin usaha pertambangan (IUP) mencakup hampir 350 ribu hektare di tujuh kabupaten di Provinsi Bangka Belitung.
Bambang Hero Saharjo menyatakan bahwa ia dan rekan-rekannya di IPB melakukan kajian mengenai kerugian akibat penambangan timah ilegal di Bangka Belitung melalui citra satelit dan pemeriksaan lapangan. “Kami terkejut, ada ratusan perusahaan yang terlibat dalam kasus ini,” ujarnya, seperti dikutip dari majalah Tempo edisi 28 April 2024.