KabarIndonesia.id — Mahkamah Konstitusi resmi menolak permohonan uji materi terkait frasa kontroversial “menurut penilaiannya sendiri” yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 84/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Permohonan ini diajukan oleh advokat Syamsul Jahidin dan Piriada Patrisia Siboro, bersama seorang ibu rumah tangga bernama Ernawati. Mereka menggugat frasa “kepentingan umum” dan “menurut penilaiannya sendiri” karena dianggap membuka ruang interpretasi subjektif aparat di lapangan.
Pasal tersebut berbunyi lengkap: “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.”
Menurut para pemohon, ketiadaan definisi eksplisit atas frasa “kepentingan umum” dapat memicu tafsir sewenang-wenang, sedangkan frasa “menurut penilaiannya sendiri” dinilai rentan melahirkan multitafsir dan potensi ketidakadilan hukum akibat kurangnya mekanisme pengawasan.
Menanggapi dalil tersebut, MK menegaskan bahwa Pasal 18 ayat (1) UU Polri tak dapat dipisahkan dari fungsi mendasar Polri dalam memberikan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat. Situasi di lapangan sering kali kompleks, sehingga diperlukan ruang diskresi sebagai langkah antisipasi.
MK menilai penggunaan frasa “kepentingan umum” dan “penilaiannya sendiri” merupakan bentuk diskresi yang sah, memungkinkan aparat mencegah tindak pidana yang sedang atau mungkin akan terjadi. Frasa tersebut juga telah dijabarkan dalam penjelasan resmi UU Polri, termasuk ketentuan umum angka 7.
Selain itu, Pasal 18 ayat (2) memuat batasan bahwa tindakan atas nama kepentingan umum dan penilaian sendiri hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat mendesak, dengan mematuhi peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi Polri.
MK juga menyoroti Pasal 16 ayat (2) UU Polri, yang secara tersirat memuat lima syarat dalam penerapan diskresi: tidak bertentangan dengan hukum, selaras dengan kewajiban hukum, patut dan masuk akal, berlandaskan pertimbangan yang layak, serta tetap menghormati hak asasi manusia.
“Frasa ‘kepentingan umum’ dan ‘penilaiannya sendiri’ masih dibutuhkan sebagai bentuk diskresi untuk menjaga perlindungan dan pelayanan publik,” tutur Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah membacakan pertimbangan.
Atas dasar pertimbangan tersebut, MK menyatakan dalil pemohon tidak berdasar menurut hukum.
Dalam sidang yang sama, MK juga tidak menerima dua perkara uji materi UU Polri lainnya, yakni Nomor 76/PUU-XXIII/2025 dan 78/PUU-XXIII/2025. Pada perkara Nomor 76, Syamsul Jahidin menggugat Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat (2) huruf c yang dinilai berpotensi menimbulkan kriminalisasi. Namun, pemohon dianggap gagal membuktikan kerugian hak konstitusionalnya sehingga gugatan tak memenuhi syarat kedudukan hukum.
Sementara itu, perkara Nomor 78 yang menggugat Pasal 11 ayat (2) beserta penjelasannya soal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri, juga ditolak lantaran pemohon tak mampu menunjukkan kerugian hak konstitusional dan permohonan dinilai kabur (obscuur).