KabarIndonesia.id — Pelantikan pasangan Presiden-Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, pada tanggal 20 Oktober 2024, semakin mendekat. Dengan ekpspektasi yang tinggi dari masyarakat, salah satu topik paling hangat diperbincangkan adalah susunan kabinet mendatang. Meskipun belum ada pernyataan resmi dari pihak Prabowo-Gibran terkait kabinet yang akan mereka bentuk, ramalan dan diskusi mengenai hal ini terus berkembang, mencerminkan harapan dan keprihatinan publik.
Terdapat dua kemungkinan besar mengenai susunan kabinet yang akan dibentuk oleh Prabowo-Gibran. Pertama, adanya prediksi bahwa kabinet era mereka akan menjadi kabinet gemuk, sebagai dampak dari kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan berbagai pihak dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). KIM terdiri dari sejumlah partai yang memiliki kepentingan dan harapan politik berbeda-beda, sehingga menuntut representasi yang lebih besar dalam pemerintahan.
Beberapa pihak telah menyuarakan bahwa jumlah kementerian di era Prabowo-Gibran akan bertambah, dari 34 kementerian yang ada pada era Jokowi menjadi sekitar 44 kementerian dan lembaga non-kementerian baru. Rencana ini mencakup pemisahan beberapa kementerian serta pembentukan lembaga non-kementerian baru. Di antara lembaga baru yang diusulkan adalah Badan Gizi Nasional, yang bertujuan untuk melaksanakan Program Makan Bergizi Gratis, serta Badan Pengelola Perubahan Iklim dan Tata Niaga Karbon. Selain itu, terdapat rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara dan lembaga yang mengelola tata niaga pangan, yang mungkin berfungsi mirip dengan Bulog.
Namun, rencana pembentukan kabinet gemuk ini tidak lepas dari kritikan tajam. Para pengamat khawatir bahwa langkah ini dapat menambah beban keuangan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Biaya tambahan akan timbul, bukan hanya dari pengelolaan kantor-kantor baru, tetapi juga dari pelaksanaan program-program ambisius lainnya, seperti penyediaan makanan bergizi gratis dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru.
Menghadapi meningkatnya beban APBN, pemerintah diperkirakan harus mengambil langkah-langkah untuk menutup defisit anggaran yang berkembang. Salah satu kemungkinan yang muncul adalah peningkatan penerimaan pajak. Wacana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 menunjukkan bagaimana beban finansial akan dialihkan kepada masyarakat. Kenaikan ini, terutama akan mempengaruhi kelas menengah yang akhinya berpotensi mengurangi daya beli mereka. Di samping itu, ide pengenaan cukai untuk objek-objek baru seperti minuman berpemanis dalam kemasan, plastik, tiket konser dan lainnya, juga diarahkan untuk menambah pemasukan negara.
Alternatif lain yang mungkin diambil adalah menambah utang luar negeri, sebuah langkah yang berpotensi menambah beban ekonomi masyarakat mengingat jumlah utang luar negeri Indonesia telah mencapai angka yang signifikan dan terus meningkat dengan tajam di bawah pemerintahan sebelumnya.
Dalam konteks ini, tantangan bagi kabinet yang akan dibentuk Prabowo-Gibran sangat besar. Mereka tidak hanya diharuskan untuk memenuhi berbagai ekspektasi dari pendukung, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap keputusan yang diambil. Ia akan menjadi penting bagi pemerintahan mendatang untuk menemukan keseimbangan antara akomodasi kepentingan politik dan pengelolaan keuangan negara yang prudent, demi terciptanya pemerintahan yang lebih efisien dan bertanggung jawab. Harapan masyarakat tentu saja sebuah kabinet yang mampu mengatasi tantangan-tantangan ini dengan cara yang berkelanjutan dan adil bagi semua lapisan masyarakat.