KabarIndonesia.id — Yoory Corneles Pinontoan, mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya, memberikan kesaksian mengejutkan terkait praktik pungutan liar (pungli) selama dirinya ditahan. Sidang ini digelar secara hibrida, di mana Yoory hadir secara virtual dari Lapas Sukamiskin, dan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Maryono, beserta hakim anggota Sri Hartati dan Sigit Herman Binaji senin, (23/9/2024).
Yoory mengaku diminta untuk mengumpulkan uang dalam jumlah signifikan, antara Rp 30 juta hingga Rp 40 juta per bulan, dari delapan tahanan lainnya yang berada di Blok A Rutan C1 Kuningan, gedung lama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam perannya sebagai koordinator, ia menjelaskan bahwa terdapat tahanan yang tidak mampu membayar pungutan tersebut dan mengalami perlakuan tidak manusiawi, seperti dimasukkan ke dalam ruang isolasi selama dua minggu.
Pernyataan ini mendapatkan respon dari jaksa yang mempertanyakan keuntungan yang didapat oleh Yoory sebagai koordinator pungutan tersebut. Dalam jawabannya, Yoory menegaskan bahwa tidak ada keuntungan pribadi dari tindakannya, bahkan ia mengklaim bahwa niatnya adalah untuk membantu teman-teman sesama tahanan agar tetap aman di dalam rutan.
Kasus ini melibatkan total 15 orang yang merupakan mantan petugas Rutan KPK, yang didakwa melakukan pungli dengan total mencapai Rp 6,3 miliar. Di antara mereka terdapat nama-nama penting seperti eks Kepala Rutan KPK, Achmad Fauzi, dan eks Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Rutan KPK, Deden Rochendi, serta beberapa petugas lainnya. Jaksa KPK, Syahrul Anwar, menjelaskan bahwa para terdakwa telah menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya dalam terkait penerimaan, penempatan, dan pengeluaran tahanan.
Surat dakwaan menyebutkan bahwa pungutan liar ini dilakukan dengan iming-iming fasilitas yang menggiurkan, seperti percepatan masa isolasi, layanan penggunaan ponsel dan powerbank, serta informasi tentang inspeksi mendadak. Besaran pungutan yang dikenakan berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 20 juta, dan uang tersebut kemudian disetorkan secara tunai ke rekening bank yang ditunjuk, di mana para petugas rutan bertindak sebagai koordinator atau “Lurah” di antara tahanan.
Kasus ini mencerminkan adanya praktik korupsi yang sistemik dalam lembaga peradilan, yang menunjukkan betapa rentannya institusi penegakan hukum terhadap penyalahgunaan wewenang. Pengakuan Yoory bukan hanya sekadar pengakuan belaka, tetapi juga menjadi contoh mengkhawatirkan dari kondisi yang berpotensi merusak integritas sebuah sistem yang seharusnya berfungsi untuk menegakkan keadilan. Harapan ke depan adalah agar penanganan kasus ini dapat memberikan pelajaran berharga dan mendorong reformasi di dalam lembaga-lembaga penegakan hukum di Indonesia.