KabarIndonesia.id — Komite Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Jurnalisme Berkualitas (KTP2JB) bersama Indonesian Institute of Journalism (IIJ) menggelar rangkaian agenda khusus memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025. Acara tersebut berlangsung selama dua hari, 3–4 Mei 2025, berlokasi di jantung budaya ibu kota, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dengan mengusung tema besar “Media Sustainability: Strengthening Democracy and Public Trust”, forum ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan: jurnalis, praktisi media, akademisi, mahasiswa, aktivis literasi, pengelola platform digital, hingga unsur pemerintah.
Dalam lanskap digital yang terus bergolak, eksistensi jurnalisme yang kredibel dan independen menghadapi tekanan yang semakin kompleks. Ketua KTP2JB, Suprapto, menyampaikan bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi keniscayaan demi menjamin ruang kerja jurnalis yang bebas dari intimidasi maupun intervensi. Hal ini disampaikannya pada Jumat, 2 Mei 2025.
“Saya mengimbau semua elemen bangsa untuk terlibat aktif dalam peringatan ini. Mari jadikan momentum 3–4 Mei di TIM sebagai titik balik untuk mengukuhkan kembali komitmen kita terhadap kebebasan pers dan keberlanjutan ekosistem media yang adil,” ujarnya.
Suprapto menegaskan, media yang merdeka dan tangguh memiliki fungsi vital dalam menjaga pilar demokrasi, mendorong literasi publik, serta menjamin transparansi sosial dan ekonomi. Peran strategis inilah yang diharapkan terus menguat, khususnya di tengah era disrupsi informasi.
Rangkaian kegiatan yang digelar mencerminkan semangat tersebut: mulai dari seminar nasional, diskusi publik, lokakarya jurnalistik, jalan sehat, hingga bazaar media. Beragam aktivitas itu dirancang bukan sebagai seremoni belaka, melainkan wahana interaksi produktif antarpraktisi dan publik.
Sasmito Madrim, Ketua Panitia yang juga Koordinator Bidang Pelatihan dan Program Jurnalisme Berkualitas KTP2JB, menuturkan bahwa situasi pers nasional belum sepenuhnya membaik. Demokrasi pun tengah diuji dari berbagai arah.
“Kita tidak boleh menyerah. Komunitas pers harus tetap tangguh dan penuh harapan,” katanya dalam pernyataan pada Jumat, 2 Mei 2025.
“Tantangan bisa datang dari mana saja. Namun, respons kita harus berupa langkah strategis dan kebijakan berkelanjutan untuk memperkuat sektor media,” tambahnya.
Tema keberlanjutan media bukan tanpa dasar. Temuan Reporter Without Borders (RSF) menyebutkan bahwa kendati kekerasan fisik terhadap jurnalis merupakan ancaman kasatmata, justru krisis keberlanjutan ekonomi menjadi retakan terdalam dalam lanskap jurnalisme global.
Dalam laporan terbarunya, RSF menyoroti bahwa indikator ekonomi dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia mencapai titik nadir—terendah sepanjang sejarah pemeringkatan. Kondisi ini membuat kebebasan pers global diklasifikasikan sebagai “sulit”, sebuah status yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Khusus Indonesia, skor kebebasan pers mengalami kemunduran signifikan. Berdasarkan data RSF, Indonesia turun dari peringkat ke-111 dengan skor 51,15 pada tahun 2024 menjadi posisi ke-127 dengan hanya 44,13 poin pada 2025. Ini menempatkan Indonesia dalam zona merah: kebebasan pers tergolong rawan dan terancam.
Kondisi ini tak hanya dialami Indonesia. Di Asia Pasifik, dominasi pemerintahan yang cenderung otoriter turut membatasi akses publik terhadap informasi yang independen dan kredibel. Banyak negara membiarkan tekanan ekonomi menjadi alat kendali, sementara konsentrasi kepemilikan media di tangan elite politik mempersempit ruang keberagaman suara.
RSF juga mencatat bahwa di negara-negara demokratis seperti Taiwan dan Australia, media independen tetap bergumul dengan tekanan ekonomi yang tak kalah hebat.
Momentum Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh setiap 3 Mei pun menjadi pengingat kolektif: bahwa kemerdekaan pers harus dijaga bersama. Negara, korporasi, dan masyarakat sipil perlu bersinergi untuk memastikan kebebasan pers dan hak berpendapat berjalan sebagaimana mestinya.
Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia kini berhadapan dengan tantangan krusial dalam menjaga keberlangsungan sektor media. Mulai dari disrupsi digital, intervensi politik, perlindungan terhadap karya jurnalistik, hingga kesejahteraan pekerja media dan perubahan pola konsumsi informasi masyarakat.
Realitas tersebut menuntut strategi jangka panjang yang matang, bukan solusi tambal sulam.
“Ini bukan kerja satu-dua malam. Usai acara, jangan sampai hening kembali. Kita butuh ruang dialog yang konsisten dan saling menyuburkan ide,” ucap Sasmito.
“Dengan tantangan industri media yang begitu kompleks, forum-forum offline seperti ini menjadi penting. Tidak hanya sebagai refleksi kolektif, tetapi juga sebagai laboratorium gagasan yang bisa diwujudkan,” lanjutnya.
Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 diharapkan dapat memperkuat posisi media sebagai fondasi demokrasi dan memperkokoh daya tahan industri pers di tengah derasnya gelombang digitalisasi. Sasmito menutup dengan keyakinan, bahwa sinergi antara media, pemerintah, platform digital, akademisi, dan masyarakat akan mampu membangun ekosistem informasi yang kredibel, sehat, dan berkeadilan.