KabarIndonesia.id — Indonesia memerlukan tujuh hingga sembilan pabrik pengolahan Crude Palm Oil (CPO) menjadi biodiesel untuk mendukung produksi bahan bakar campuran B50. Kebutuhan ini diungkapkan oleh Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Edi Wibowo, dalam acara Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Bali.
Dalam paparannya, Edi menjelaskan bahwa kebutuhan biodiesel untuk mendukung program B50 mencapai 19,7 juta kiloliter per tahun. Namun, kapasitas produksi dalam negeri saat ini baru mencapai 15,8 juta kiloliter. Dengan defisit mencapai 3,9 juta kiloliter, pengembangan fasilitas pengolahan menjadi prioritas.
“Pembangunan tujuh hingga sembilan pabrik baru sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan domestik sekaligus mempertahankan komitmen kita terhadap energi terbarukan,” jelas Edi.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan transisi energi sebagai salah satu agenda strategis nasional. Kebijakan biodiesel B50—yang mengandung 50% bahan bakar berbasis minyak kelapa sawit—menjadi langkah penting untuk menekan emisi karbon dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Menurut Edi, kebijakan ini juga sejalan dengan upaya pemerintah meningkatkan kemandirian energi nasional. “Selain memperkuat energi terbarukan, ini juga merupakan peluang bagi industri kelapa sawit untuk menciptakan nilai tambah,” katanya.
Pembangunan pabrik pengolahan CPO diproyeksikan memberikan dampak ekonomi yang signifikan, termasuk penciptaan lapangan kerja baru, pengembangan infrastruktur industri, dan peningkatan pendapatan negara dari sektor energi terbarukan.
“Industri kelapa sawit kita memiliki potensi besar. Dengan optimalisasi melalui biodiesel, kita tidak hanya menciptakan energi ramah lingkungan tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia,” tambahnya.
Meski potensinya besar, implementasi kebijakan ini tidak tanpa tantangan. Salah satu isu yang mencuat adalah kebutuhan investasi besar untuk membangun pabrik-pabrik baru. Berdasarkan data Kementerian ESDM, biaya investasi untuk satu pabrik pengolahan CPO bisa mencapai miliaran rupiah.
Selain itu, kendala teknis dan logistik seperti distribusi bahan baku dan infrastruktur pendukung juga menjadi perhatian. “Perlu koordinasi lintas sektor agar implementasi ini berjalan optimal,” ujar Edi.
Acara IPOC 2024 menjadi ajang strategis bagi para pemangku kepentingan di industri kelapa sawit untuk membahas peluang dan tantangan. Dalam forum ini, dibahas pula strategi pengembangan biodiesel dalam menghadapi dinamika pasar global dan regulasi energi internasional.
Para ahli dalam konferensi ini menekankan pentingnya inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi produksi biodiesel. Teknologi pengolahan yang lebih efisien dinilai dapat menekan biaya produksi sekaligus meningkatkan kapasitas output pabrik.
Untuk merealisasikan target produksi biodiesel, pemerintah menggandeng pihak swasta sebagai mitra strategis. “Kerja sama dengan sektor swasta sangat penting, terutama dalam hal investasi dan transfer teknologi,” jelas Edi.
Beberapa perusahaan besar di sektor kelapa sawit telah menyatakan komitmennya untuk mendukung program biodiesel B50, baik melalui investasi langsung maupun pengembangan fasilitas pendukung.
Demi mempercepat pembangunan pabrik pengolahan CPO, pemerintah juga mempertimbangkan pemberian insentif fiskal, seperti keringanan pajak bagi investor. Insentif ini diharapkan dapat menarik minat investasi dan mempercepat implementasi kebijakan.
“Pemerintah berkomitmen menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dengan kebijakan yang tepat, target pembangunan pabrik dapat tercapai dalam beberapa tahun ke depan,” kata Edi.
Kebijakan biodiesel B50 juga membawa dampak positif bagi petani kelapa sawit. Dengan meningkatnya permintaan CPO untuk biodiesel, harga tandan buah segar (TBS) sawit diperkirakan akan lebih stabil.
“Ini adalah kabar baik bagi para petani, terutama di tengah fluktuasi harga komoditas global,” ungkap seorang peserta konferensi yang mewakili Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia.
Selain manfaat ekonomi, kebijakan ini juga menunjukkan komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon. Dengan memanfaatkan biodiesel berbasis kelapa sawit, emisi gas rumah kaca dapat ditekan secara signifikan.
“Ini adalah langkah konkret dalam mendukung tujuan net-zero emissions yang telah dicanangkan pemerintah,” tutur Edi.
Kebijakan biodiesel Indonesia mendapat perhatian dari komunitas internasional, terutama negara-negara yang juga mengembangkan energi terbarukan. Meski demikian, beberapa negara Eropa masih memberikan kritik terkait dampak lingkungan dari ekspansi kelapa sawit.
Edi menegaskan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memastikan keberlanjutan dalam setiap aspek kebijakan. “Praktik perkebunan berkelanjutan adalah prioritas kami,” katanya.
Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, pengembangan biodiesel B50 diharapkan dapat menjadi salah satu pilar utama dalam transisi energi Indonesia.
“Ini adalah langkah besar untuk masa depan energi kita. Namun, keberhasilan program ini membutuhkan dukungan dari semua pihak,” tutup Edi.
(Sumber: kabarjawa.com)