Tito Karnavian Bahas Peran Aktor Non-Negara di Global Security Forum Qatar

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian

KabarIndoneisa.id — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyoroti urgensi kerja sama internasional dalam menanggulangi ancaman dari aktor non-negara pada ajang Global Security Forum (GSF) 2025 yang berlangsung di Qatar. Dalam forum bergengsi tersebut, ia tampil sebagai pembicara utama, mengangkat isu krusial seputar stabilitas global dan dinamika geopolitik kontemporer.

Diselenggarakan pada 28 hingga 30 April 2025, forum ini resmi dibuka oleh Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdurahman Al Thani. Hadir pula Menteri Dalam Negeri Sheikh Khalima bin Hamad Al Thani, pendiri The Soufan Center Ali Soufan, serta lebih dari 1.400 peserta yang mewakili 60 negara terdiri atas pejabat tinggi negara, akademisi, kepala lembaga internasional, dan aktivis kemanusiaan.

Dalam sesi pemaparan hari pertama, Tito menyampaikan perspektif Indonesia terkait aktor non-negara yang kian memengaruhi peta keamanan global. Menurutnya, entitas ini terbagi ke dalam dua kelompok besar yang satu bersifat destruktif, lainnya konstruktif.

“Ada aktor hostile yang berpotensi mengoyak tatanan internasional dan kestabilan global, yang mutlak harus dinetralisasi. Sementara di sisi lain, terdapat aktor yang kooperatif dan dapat menjadi mitra strategis dalam merawat keamanan bersama,” ujar Tito.

Ia mengemukakan pengalaman konkret Indonesia dalam menanggulangi jaringan teroris lintas negara, seperti al Jamaah al Islamiyyah yang berafiliasi dengan Al Qaeda dan Jamaah Ansharut Daulah yang menjalin koneksi dengan ISIS. Tito juga menyinggung penanganan kelompok separatis bersenjata di Aceh dan Papua, serta upaya melawan kejahatan transnasional mulai dari perdagangan narkotika, perdagangan manusia, hingga kejahatan siber.

“Rangkaian aktivitas ilegal ini tak hanya mengguncang keamanan, tapi juga menyandera pembangunan ekonomi dalam jangka panjang,” ungkapnya.

Namun demikian, Tito menegaskan bahwa aktor non-negara tidak melulu menjadi ancaman. Dalam konteks damai, mereka bisa menjadi kekuatan penyeimbang. Ia merujuk pada keberhasilan proses perdamaian Aceh yang melibatkan Crisis Management Initiatives, sebuah LSM internasional yang dikomandoi oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari dan Juha Christensen—tokoh penting yang kemudian berkiprah di Asian Peace and Reconciliation Center. Selain itu, lembaga think tank seperti International Crisis Group dan S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura juga disebut berkontribusi dalam strategi kontra-radikalisasi di Indonesia.

Dengan mempertimbangkan skala ancaman yang bersifat transnasional, Tito mengajukan dua rekomendasi strategis. Pertama, perlunya penguatan sinergi antarnegara melalui skema bilateral maupun multilateral, yang tak berhenti di tataran kebijakan, melainkan menyentuh level teknis dan operasional aparat di lapangan. Kedua, membangun aliansi dengan LSM, think tank, media, dan elemen masyarakat lainnya sebagai upaya preventif dan kuratif terhadap pengaruh negatif aktor non-negara.

“Penanganan ancaman modern tidak bisa dilakukan secara insular. Kolaborasi adalah kunci,” tegas mantan Kapolri itu.

Tito juga memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan forum ini, yang menurutnya merupakan representasi konkret kerja sama lintas sektor dan lintas batas. Peran aktif pemerintah Qatar yang menggandeng aktor non-negara global menjadi sorotan positif.

“Sinergi semacam ini telah mempertemukan kita dalam satu ruang strategis untuk berbagi pandangan, menumbuhkan pemahaman, dan merajut jejaring global yang lebih tangguh,” pungkasnya.