Aktivis Laporkan Mantan Bupati Kolaka Utara ke Kejagung RI

Ilustrasi : kabar/ist

KabarIndonesia.id – Bupati Kabupaten Kolaka Utara periode 2017-2022 H Nur Rahman Umar M.H dilaporkan ke Kejaksaan Agung RI atas dugaan korupsi pematangan lahan pembangunan bandara Kolaka Utara tahun anggaran 2020 oleh Gerakan Pro Demokrasi (Prodem)

Berdasarkan bundel Laporan Prodem bernomor 08/GPD/VI/2024, tertanggal 08 Juli 2024 yang di tujukan kepada Kejaksaan Agung dan BPK RI tersebut di jelaskan bahwa H Nur Rahman Umar Bupati Kolaka Utara 2017-2022 di diduga terlibat dalam proyek bernilai Rp 41.158.895.000.

Dalam laporan tersebut ada beberapa dugaan pelanggaran yakni, adanya ketidak wajaran anggaran sebesar Rp 9.8 Milliar sesuai hitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI serta perencanaan proyek pematangan lahan tidak memiliki dokumen perencanaan yang melalui proses lelang.

Proyek yang bersumber dari anggaran pada dinas perhubungan Kabupaten Kolaka Utara tersebut dimenangkan oleh PT. Monodon Pilar Nusantara.

Kejari Kolut Tahan Tiga Tersangka

Terkait kasus tersebut, Kejaksaan Negeri (Kejari) Kolaka Utara (Kolut) Sulawesi Tenggara telah menahan tiga orang tersangka terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pematangan dan penyediaan lahan bandar udara Kabupaten Kolut tahun 2020-2021 yang dibangun dengan anggaran sekitar Rp41,1 miliar.

Dikutip dari Antara, Kepala Kejari Kolut Henderina Malo di Kolut mengatakan, bahwa penetapan ketiga tersangka itu dilakukan pada tahun 2023 setelah dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menemukan kerugian keuangan negara sebesar Rp7,7 miliar.

Namun, setelah dilakukan kembali audit dengan melibatkan ahli, ditemukan kerugian negara naik jadi Rp9,8 miliar.

“Ketiganya berinisial J selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), SL selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan JM selaku kontraktor pelaksana,” kata Henderina Malo.

Dia menyebutkan bahwa ketiga tersangka tersebut telah dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas II Kendari bersama dengan 195 dokumen dan barang bukti pada Senin (6/5) lalu, setelah dinyatakan P21 atau kelengkapan berkasnya telah terpenuhi semua.

“Penahanan tersangka atau terdakwa merupakan bukti dedikasi, profesionalisme, dan komitmen Kejaksaan dalam memerangi tindak pidana korupsi,” ujarnya.

Mereka ditahan di Rutan Kelas II Kendari sejak 6 Mei 2024, setelah berkas perkara dinyatakan lengkap pada awal Mei 2024. Dugaan korupsi ini terkait dengan penyalahgunaan dana dalam proyek pematangan dan penyiapan lahan bandara yang mengakibatkan kerugian negara sebesar sekitar Rp 9,8 miliar​.

ketiga tersangka itu akan dikenakan dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 5 Ayat ke 1 KUHP.

Perusahaan Konstruksi

PT. Monodon Pilar Nusantara atau MPN diketahui bergerak di bidang konstruksi dan baja yang terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur termasuk pembangunan bandar udara di Kolaka Utara.

Perusahaan ini pernah mengajukan sanggahan dalam sebuah proyek di mana mereka merasa dirugikan oleh keputusan tender yang memenangkan perusahaan lain dengan penawaran lebih tinggi.

MPN terlibat dalam beberapa proyek besar, terutama di sektor infrastruktur. Mereka adalah rekanan utama dalam pembangunan Bandara Kolaka Utara di Desa Kalu-kaluku dan Latemuna, Kecamatan Kodeoha, dengan nilai proyek sekitar Rp 41,158 miliar.

Seperti yang dihimpun media daring lokal Kolaka Utara, proyek ini mencakup penimbunan badan jalan dan persiapan lahan untuk tiang pancang.

Selain itu, perusahaan ini juga menghadapi beberapa isu terkait pengelolaan tenaga kerja, seperti keluhan tentang upah lembur yang tidak dibayarkan sesuai ketentuan​​.

Masalah ini menjadi perhatian dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat, yang berencana untuk melakukan pengecekan lebih lanjut untuk memastikan kepatuhan terhadap standar upah minimum dan hak tenaga kerja.

Masalah ini menjadi perhatian dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat, yang berencana untuk melakukan pengecekan lebih lanjut untuk memastikan kepatuhan terhadap standar upah minimum dan hak tenaga kerja.

Dalam kasus itu, perusahaan diduga tidak memberikan upah lembur dan membayar gaji di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang berlaku.

Karyawan juga melakukan aksi protes terkait kondisi kerja yang tidak memadai dan perlakuan yang tidak adil oleh perusahaan. (*)