KPU Dituntut Batalkan Penghapusan Sanksi Pembatalan Paslon

KabarIndonesia.id – Constitutional Democrazy Initiative (CONSID) menuntut agar Komisi Pemilihan Umum tidak menghapus sanksi pembatalan bagi paslon yang tidak patuh dalam melaporkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye atau LPPDK.

Hal ini seperti disampaikan Ketua Constitutional Democrazy Initiative (CONSID) Kholil Pasaribu melalui siaran pers resminya yang diterima redaksi Kabar Indonesia, Selasa, 6 Agustus 2024.

Menurutnya, KPU seharusnya mengembangkan peraturan dana kampanye agar kualitas informasi yang disajikan oleh paslon lebih transparan, lebih akuntabel, lebih komprehensif, lebih mudah diakses, dan lebih bermanfaat bagi publik.

Rancangan PKPU tentang Dana Kampanye Peserta Pilkada 2024 yang menghapus sanksi pembatalan bagi paslon yang terlambat melaporkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) merupakan langkah mundur bagi penyelenggaraan pilkada yang bersih dari dana politik kotor.

Dia mengatakan alasan KPU terkait penghapusan sanksi pembatalan pasangan calon tersebut tidak diatur dalam UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).

“Pembatalan tersebut bertentangan dengan norma hukum, karena sanksi itu dianggap melebihi batas kewenangan yang diberikan UU,” seperti dikutip dalam rilis CONSID.

Sebagai gantinya KPU mengusulkan sanksi bagi paslon yang tidak menyampaikan LPPDK yakni tidak dapat mengikuti kampanye dan tidak ditetapkan sebagai paslon terpilih sampai paslon yang bersangkutan menyampaikan LPPDK.

Sikap KPU ini setidaknya mengindikasikan empat hal. Pertama, KPU tidak konsisten dengan cara pandang dan sikap hukum yang dilakukan. Satu sisi KPU tidak bisa menerapkan sanksi yang melebihi batas yang diberikan UU, tetapi saat yang sama juga mengatur sanksi yang tidak jelas batas ukurnya.

Jika dinyatakan pasal 75 UU 10/2016 tidak mengatur sanksi pagi paslon yang tidak menyerahkan LPPDK, seharusnya tidak perlu ada sanksi sama sekali yang diberikan.

Tetapi KPU nyatanya tetap mengatur sanksi, yang jika dinilai, tidak maksimal dan jauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas. Ini artinya, KPU dalam mengatur jenis sanksi memilih sanksi yang teringan bagi paslon yang melanggar.

Kemudia, penghapusan sanksi pembatalan seperti memberi ruang bagi paslon untuk secara serampangan menerima sumbangan dan mengelola peruntukkannya sehingga membuka ruang hadirnya praktik korupsi dan beredarnya dana ilegal yang lebih besar.

Penghapusan sanksi pembatalan paslon ini sebagaimana telah diterapkan pada pilkada-pilkada sebelumnya, terkesan lembaga penyelenggara pemilu begitu ramah dan mengakomodir kemauan peserta pilkada.

Selanjutnya, kata dia penghapusan tersebut juga semakin memperkuat penilaian masyarakat bahwa lembaga ini tidak mandiri dalam membuat regulasi dan/atau menjalankan semua tahapan pilkada, inkonsisten, serta minim komitmen pada pilkada bersih dan antikorupsi.

Jika merujuk pada pelaksanaan pilkada sebelumnya, sanksi pembatalan sudah diberlakukan KPU sejak pilkada serentak tahun 2015 melalui Peraturan KPU No.8 Tahun 2015 tentang Dana Kampanye Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota).

Klausul pembatalan bagi paslon yang tidak melaporkan LPPDK dalam pelaksanaannya dapat diterima oleh publik dan tidak mendapatkan penolakan dari partai politik maupun pasangan calon serta telah dipatuhi oleh peserta pilkada secara konsisten.

Menurutnya itu menjadi sangat aneh dan menimbulkan pertanyaan besar apa yang melatari sikap KPU yang ingin menghapus ketentuan tersebut dengan alasan tidak diatur dalam UU Pilkada.

Sebagai regulator teknis pilkada, merupakan kewenangan KPU untuk mengatur sanksi bagi pasangan calon yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan dana kampanye sebagaimana diatur dalam UU Pilkada.

Selain itu, KPU sebagai penyelenggara pilkada berkewajiban untuk memastikan asas dan prinsip pilkada yang jujur dan adil diimplementasikan menyeluruh dalam penyelenggaraan pilkada. Sudah semestinya KPU tetap menerapkan pengaturan progresif yang sudah sejak lama dipraktikkan dalam penyelenggaraan pilkada serentak di Indonesia.

Ketentuan dalam UU Pilkada yang mengatur kewajiban bagi peserta pilkada, sudah seharusnya ditindaklanjuti dengan sebuah konsekuensi, yaitu berupa sanksi-sanksi melalui Peraturan KPU, apabila kewajiban tersebut tidak ditaati peserta pilkada.

Sehingga aturan tersebut dapat terlaksana dengan baik, sebagaimana ekspektasi UU Pilkada. Sanksi pembatalan bagi paslon yang tidak patuh terhadap pelaporan dana kampanye, selama ini cukup efektif membuat peserta pilkada tertib dalam melaporkan dana kampanyenya.

Di sisi lain, transparansi dana kampanye adalah hak bagi pemilih. Publik berhak mengetahui siapa penyumbang dana, berapa besar jumlah dana, serta bagaimana dana kampanye dibelanjakan oleh paslon.

Dana kampanye menjadi alat analisis dan alat pengambilan keputusan bagi pemilih untuk menentukan siapa calon yang akan dicoblos nantinya di TPS.

Dengan demikian, menghapus sanksi pembatalan juga berarti bahwa KPU menghapus instrumen pemilih untuk menentukan pilihan secara cerdas dan rasional.

Kalau pendekatan KPU berlanjut pragmatis seperti saat ini, lanjutnya maka kualitas pemilu Indonesia akan stagnan dan tidak pernah ada perbaikan ataupun peningkatan mutu.

Menurut dia KPU sudah selayaknya menjadi tempat untuk mengembangkan gagasan kepemiluan yang semakin demokratis dan berpihak terhadap masyarakat.

“KPU telah berhenti berinovasi, bahkan memberangus gagasan kepemiluan yang sudah baik, sama saja mengembalikan suasana kepemiluan kembali ke era kegelapan,” tutupnya. (*)