News  

Tajuk: Aksi Simpati Palestina dan Seko

KabarIndonesia.ID

KabarMakassar.com — Siapa yang tak murka mendengar kabar mengenai kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang ingin memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Kota Yerusalem. Pemerintahan AS ingin menjadikan kota tertua di dunia itu menjadi Ibukota Israel. Trump sangat cerdas menarik perhatian dunia.

Yerusalem yang terletak di sebuah dataran tinggi di Pegunungan Yudea antara Laut Tengah dan Laut Mati. Kota ini dianggap suci dalam tiga agama Abrahamik utama yakni Yudaisme, Kekristenan, dan Islam.

Orang Israel maupun Palestina mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota mereka, sebab Israel mempertahankan lembaga-lembaga pemerintahan utamanya di Yerusalem. Sedangkan Negara Palestina pada dasarnya memandang kota ini sebagai pusat kekuasaannya.

Wikipedia menilai kedua klaim tersebut tidak ada satupun yang mendapat pengakuan luas secara internasional. Sejumlah negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam atau OKI termasuk Indonesia mengecam keras aksi provokasi yang dilakukan para pemimpin-pemimpin di negara adikuasa itu.

Tak heran, sejumlah ormas dan warga muslim di Indonesia termasuk di Kota Makassar. Hanyut dalam isu itu dan melakukan aksi turun ke jalan.

Tak hanya itu, mereka membangun koalisi bersama. Mengajak seluruh elemen warga kota ikut mengecam tindakan negara Adikuasa itu.

Kota Yerusalem sebagai salah satu kota tertua itu seolah-olah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kumpulan para simpatisan tragedi Palestina.

Menariknya, sebuah daerah yang terletak di Kabupaten Luwu Utara. Jaraknya tidak terlalu jauh, jika dibandingkan kota Yerusalem yang terletak di belahan benua ini.

Melalui perjalanan darat, siapapun bisa mengakses lokasi itu. Meski, selama ini akses warga untuk keluar masuk menggunakan ojek motor atau kuda. Jika kondisi cuaca cerah, waktu tempuh membutuhkan beberapa jam.

Namun jika sedang hujan. Masuk ke daerah ini bisa memakan waktu dua hari karena jalanan yang sangat becek dan berkubang lumpur.

Tempat itu bernama Seko sebuah kecamatan yang warganya hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Mereka sedang berjuang menolak pembangunan PLTA PT. Seko Power Prima di kawasan tanah adat mereka.

Upaya intimidasi dan ancaman kriminalisasi menjadi rutinitas warga yang telah bertahun-tahun hidup dalam kegelisahan. Ketika warga di daerah lain dimanjakan dengan berbagai fasilitas infrastruktur dan akses pelayanan publik yang nyaman.

Warga Seko justru sebaliknya. Jangankan akses pelayanan publik yang ideal. Cukup keluar dari intimidasi oknum-oknum dan antek penguasa saja, mereka sudah nyaman.

Tak tanggung-tanggung, kondisi ini sudah terjadi bertahun-tahun. Anak-anak dan perempuan terpaksa harus mendekam di dalam rumah. Belum para pria yang berjuang mempertahankan tanah peninggalan leluhur mereka harus mengambil resiko.

Keresahan dan ketakutan tersebut karena sebagian di antara yang berjuang menolak PT Seko telah dikriminalisasi dengan tuduhan perusakan dan perampasan kemerdekaan.

Belasan di antara mereka telah divonis penjara. Padahal mereka hanya membela haknya dengan mempertahankan tanah leluhur. Mereka meminta perusahaan menghentikan kegiatan eksplorasi PT Seko di wilayah mereka.

Perusahaan itu dianggap berada dalam kawasan adat dan diduga tidak memiliki izin resmi. Keresahan masyarakat Seko itu terjadi sejak 2012.

PT Seko Power Prima akan memanfaatkan Sungai Betue dengan kapasitas terpasang 480 MW. Pembangkit ini, kelak dari DAM dan rumah turbin akan dihubungkan dan mengalihkan air melalui pipa yang ditanam di bawah tanah warga.

Inilah satu hal yang menjadi konflik, karena perusahaan mematok jalur pipa penghantar melewati beberapa kebun warga dan kampung warga di Seko. Di Seko, kelak akan dibangun dua PLTA, Seko Power Prima dan Seko Prada. Pengembangnya, perusahaan yang sama. 

Terlepas dari itu semua. Tragedi kemanusiaan warga Seko sempat viral di sosial media. Menggambarkan kondisi sejumlah warga yang rata-rata petani. Dipukul, diseret dan dijebloskan berbulan-bulan ke dalam terali besi setelah mendapat penyiksaan dari oknum aparat di daerah itu.

Tayangan itu mendapat perhatian warga pengguna sosial media atau netizen. Mereka hanya sebatas memaki dan memberikan rasa simpati. Apakah kita akan membiarkan tragedi kemanusiaan itu terus berlangsung. Ataukah mereka bukan kita anggap manusia. Karena mereka menetap di wilayah yang sulit diakses jalur darat.

Terkadang kita kejam dengan nasib yang dialami saudara-saudara kita yang berada dalam teritori kampung halaman kita sendiri. Terkadang kita lebih memilih menyuarakan dengan lantang perlakuan tragedi kemanusiaan yang terjadi di negara-negara lain.

Meskipun informasi terkait tragedi itu, hanya kita peroleh dari sosial media. Nyaris, duduk persoalan konflik antar negara itu tak sepenuhnya kita pahami. Terkadang kita lupa dengan tragedi pelanggaran hak dasar kemanusiaan di daerah terisolir itu.

Seringkali kita berpikir "Akh, itu bukan kampung halaman saya. Biarkan itu menjadi urusan mereka," atau kita menganggap tragedi kemanusiaan di Seko hal yang biasa. Karena tak ada satu pun, warga disana yang menjadi kerabat dekat kita.

Adilkah tindakan kita, jika berpikir Seko bukan bagian dari diri kita. Apakah tragedi kemanusiaan yang terjadi di negara-negara lain saja yang pantas dibela dan diperjuangkan. Apa yang terjadi di Seko itu hanya persoalan biasa, yang memang sering terjadi ketika negara sedang membangun infrastruktur.

Tragedi kemanusiaan di Sulsel bukan hanya di Seko. Banyak daerah-daerah lain di sekitar kita mengalami tindakan kekerasan, instimidasi, perlakuan tak adil. Tapi kita sering lupa dan lupa…

Kejadian itu terkadang dianggap biasa. Tidak menarik untuk dibela. Aksi Kamisan Makassar yang mengangkat isu kepedulian tragedi kemanusiaan yang terjadi di Seko.

Masih segelintir pihak yang peduli. Itu pun masih kawan-kawan aktifis dan jurnalis yang selama ini menyuarakan perjuangan masyarakat adat Seko. Berbeda dengan kasus tragedi kemanusiaan bangsa-bangsa lain. Telah menjadi daya tarik dunia.

Yang terjadi di sekitar kita itu bagian dari proses kita menyikapi pembangunan infrastrutur dan akses pelayanan publik di Indonesia timur.

Tak penting memikirkan tragedi itu. Apakah anda berpikir demikian ??? Entahlah ….