KabarIndonesia.id — Peringatan 25 Tahun Reformasi, Amnesti Internasional Indonesia menyoroti beberapa kasus represi negara terhadap kebebasan berekspresi.
Amnesti Internasional Indonesia mengaggap, maraknya represi negara terhadap kebebasan berekspresi berakibat pada kemunduran pada kebebasan sipil di Indonesia.
Salah satu kasusnya yang disrot yakni kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang menyeret dua pembela hak asasi manusia (HAM), Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar.
Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar menjalani sidang atas tuduhan pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Jakarta Timur sejak 3 April 2023.
Keduanya dijerat Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena unggahan video yang mendiskusikan dugaan keterlibatan pejabat militer dalam bisnis tambang di Papua.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengungkapkan, seharusnya era reformasi membawa keterbhkaan dan kebebasan, namun tidak demikian pada pelaksanaannya.
“Era Reformasi membawa harapan baru akan keterbukaan, kebebasan, dan keadilan. Namun, harapan itu padam jika aparat negara terus merepresi protes dan kritik terhadap pemerintah dengan menggunakan dalil-dalil pembangunan, keamanan dan ketertiban politik demi investasi, sebuah pola kebijakan di era Orde Baru yang seharusnya ditinggalkan sejak 25 tahun lalu,” kata Usman Hamid melalui keterangan persnya, Sabtu, (20/05).
Kasus kriminalisasi lain belum lama ini juga menimpa Budi Pego, seorang aktivis lingkungan yang keberatan atas rencana penambangan emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur. Di Semarang, Jawa Tengah, pada April lalu, aparat kepolisian menangkap lima aktivis mahasiswa yang berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di depan komplek kantor Gubernur dan DPRD, Jawa Tengah.
Di Bandung, Jawa Barat, Desember lalu, aparat membubarkan aksi damai mahasiswa secara paksa dengan menggunakan tameng, tongkat, senjata, melecehkan, memukul dan menangkap setidaknya 31 orang peserta aksi protes.
Pola represi lainnya juga dialami sejumlah warga dan aktivis di Kampung Cumbi, Desa Warloka, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, ketika hendak menggelar aksi unjuk rasa 9 Mei lalu, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang digelar Pemerintah Indonesia di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Mereka mendapat panggilan Polres Manggarai Barat dengan tuduhan pidana penghasutan. Padahal mereka hanya memprotes pemerintah untuk membayar ganti rugi atas rumah dan kebun mereka yang digusur untuk proyek jalan Golo Mori – Labuan Bajo.
Pada bulan yang sama, aksi pengusiran dan penghalangan kerja jurnalistik dialami oleh belasan jurnalis di kota Padang, Sumatera Barat, oleh pegawai dan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat pelantikan Wakil Walikota Padang.
Pada 1 April 2023, sekelompok mahasiswa Papua di Bali yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua diadang oleh organisasi kemasyarakatan Patriot Garuda Nusantara saat menggelar demonstrasi damai menggugat demokrasi yang memburuk dan pelanggaran HAM di Papua, sehingga menimbulkan kericuhan dan belasan orang terluka. Peristiwa itu menambah insiden kekerasan oleh ormas dan pembiaran oleh aparat terkait aksi damai mahasiswa Papua dan aktivis di Bali.
"Ini adalah pola yang berulang sejak November tahun lalu, di mana tujuh mahasiswa ditangkap oleh Satpol PP Provinsi Bali di Denpasar dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum setelah membentangkan spanduk yang mengritik KTT G20," terang Usman Hamid.
Berdasarkan data pemantauan Amnesty International Indonesia menunjukkan setidaknya 127 pembela HAM mengalami serangan sepanjang Januari-Mei 2023.
Serangan ini termasuk kriminalisasi oleh polisi, termasuk penangkapan,hingga percobaan pembunuhan, intimidasi dan serangan fisik yang menimpa jurnalis, mahasiswa, pegiat hak masyarakat adat, dan aktivis yang kritis.
Dalam laporan Amnesty yang berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia”, Amnesty mencatat sedikitnya 328 kasus dugaan serangan fisik dan digital dengan setidaknya 834 korban dalam periode Januari 2019 hingga Mei2022.
Usman Hamid mengungkapkan, masyarakat berhak mempertanyakan komitmen negara terutama pemerintah atas janjinya dan kewajibannya melaksanakan agenda reformasi.
“Apa betul negara masih berpegang teguh pada cita-cita reformasi? Apa negara telah serius mereformasi undang-undang, kebijakan, dan kelembagaan sektor keamanan yang lebih menghormati hak asasi? Kita tanyakan pada korban yang masih menuntut, kita tanyakan pada mereka yang bersuara kritis. Jangan-jangan negara sengaja lupa demi ambisi pembangunan ekonomi dan stabilitas politik keamanan,” kata Usman.
Ia menuturkan 25 tahun reformasi seharusnya menjadi pengingat bagi negara terhadap kebebasan berekspresi serta menjamin kebebasab sipil.
“Seharusnya 25 tahun reformasi menjadi pengingat bagi negara untuk segera meninggalkan pola kebijakan yang represif terhadap kebebasan berekspresi sekaligus menjamin kebebasan sipil, yang merupakan cita-cita reformasi. Bila hal itu masih diabaikan, kami sangat khawatir Indonesia akan mundur ke era otoriter," tegas Usman Hamid.
Agenda-agenda reformasi yang terabaikan
Represi kebebasan berpendapat dan berekspresi menunjukkan tantangan lain terkait agenda reformasi. Dalam laporan “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia”, selama periode Januari 2019 hingga Mei2022 setidaknya 31 anggota kepolisian dan tujuh personel militer terlibat dalam dugaan kasus serangan terhadap jurnalis dan media.
Sedangkan di periode yang sama, anggota kepolisian setidaknya 204 personel, termasuk polisi virtual mendominasi jumlah terduga pelaku dalam kriminalisasi menggunakan UU ITE.
Akuntabilitas aparat keamanan negara juga patut disoroti. Dari 14 kasus pembunuhan di luar hukum di Tanah Papua, lima di antaranya diduga melibatkan terduga pelaku dari anggota Polri/TNI. Per akhir 2022, belum ada satu kasus yang melibatkan aparat negara ini diproses di pengadilan umum.
Sementara untuk pembunuhan di luar hukum yang berada di luar Tanah Papua, dari setidaknya 30 kasus yang tercatat sepanjang 2022, mayoritas terduga pelakunya (27 kasus) berasal dari anggota kepolisian. Sayangnya, per akhir 2022, dari 27 kasus tersebut baru empat yang diproses hukum.
“Kita semua menunggu keseriusan negara untuk urusan akuntabilitas aparat keamanan. Jangan terus melanggengkan impunitas atas kejahatan serius yang dilakukan aparat negara atas nama apa pun. Itu akan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat yang demokratis,” lanjut Usman.
Agenda lain yang masih terabaikan adalah penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk tragedi Mei 98 yang mencakup kerusuhan, penjarahan dan kekerasan seksual atas perempuan Tionghoa. Ada langkah baik dari Presiden Jokowi di awal tahun 2023, namun ini tidak cukup.
“Pengakuan negara Januari lalu dan upaya penyelesaian non-yudisial atas 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu seharusnya tidak melupakan penegakan hukum dan keadilan, termasuk suara korban yang menuntut penghukuman pelaku, penghormatan martabat mereka sebagai manusia, dan mendesak adanya klarifikasi sejarah yang lebih jujur. Ini agar ke depan terbangun moralitas kolektif yang menghormati hak asasi,” sebut Usman.
Lebih lanjut Usman mengatakan, jika negara berkomitmen menuntaskan pelanggaran HAM, seharusnya melakukan upaya pengungkapan kebenaran dan penghukuma serta penelusuran sejarah.
“Negara, jika memang berkomitmen menuntaskan pelanggaran HAM, seperti janji Presiden Jokowi, seharusnya melakukan upaya pengungkapan kebenaran dan penghukuman pelaku serta pelurusan sejarah. Ini juga termasuk mencegah pengerasan pendekatan keamanan melalui undang-undang seperti revisi KUHP baru-baru ini," pungkasnya.