KabarIndonesia.id — Pada tanggal 10 Desember 2024, Indonesia memperingati Hari Perkebunan ke-67. Momen ini menjadi pengingat penting tentang sejarah perkebunan di tanah air.
Enam puluh tujuh tahun lalu, pemerintah Indonesia mengambil langkah besar dengan menasionalisasi seluruh perkebunan milik Belanda, menjadikannya sebagai perusahaan nasional.
Keputusan ini mencerminkan tekad bangsa untuk mengelola kekayaan agrarisnya secara mandiri.
Namun, perjalanan panjang subsektor perkebunan menghadapi tantangan besar. Jika diibaratkan manusia, usia 67 tahun termasuk kategori lanjut menurut Badan Pusat Statistik (2023).
Pertanyaannya, di usia yang matang ini, mampukah pekebun sebagai subjek subsektor ini mengatasi berbagai rintangan yang ada, baik di tingkat nasional maupun global?
Subsektor perkebunan memainkan peran vital dalam perekonomian Indonesia. Menurut data Sensus Pertanian 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS), subsektor ini melibatkan 10,8 juta rumah tangga.
Tidak hanya sebagai sumber mata pencaharian, subsektor ini juga menjadi penyumbang utama devisa negara.
Pada 2022, ekspor pertanian mencapai Rp640,56 triliun, dengan subsektor perkebunan menyumbang 97,16 persen atau senilai Rp622,37 triliun.
Komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, karet, tebu, pinang, dan nilam menyediakan bahan baku untuk berbagai industri.
Sementara itu, komoditas rempah seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis tetap menjadi incaran negara-negara Eropa.
Lebih dari sekadar sumber devisa, perkebunan juga berkontribusi terhadap ketahanan pangan nasional. Sagu, kelapa, dan tebu menjadi bahan pangan pokok bagi masyarakat di beberapa wilayah Indonesia, terutama di Papua, Maluku, dan Sulawesi.
Selain itu, kelapa dan turunannya, seperti santan dan minyak kelapa, telah lama menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Sebelum dominasi minyak kelapa sawit pada 1990-an, minyak kelapa adalah pilihan utama untuk memasak.
Meski berperan penting, subsektor perkebunan menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah dampak perubahan iklim.
Perubahan ini memengaruhi produksi perkebunan, yang sulit digenjot untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia. FAO memproyeksikan populasi dunia akan mencapai 10 miliar jiwa pada 2050, sehingga permintaan pangan terus meningkat.
Perubahan iklim yang disebabkan oleh faktor alami maupun aktivitas manusia, seperti dilaporkan oleh IPCC (2007), menyebabkan kondisi cuaca ekstrem, kenaikan suhu, dan permukaan air laut.
Hal ini berdampak pada penurunan produktivitas perkebunan dan pendapatan pekebun.
Kondisi ekstrem seperti banjir dan kekeringan juga semakin sering terjadi. Peneliti dari University of Nottingham memperkirakan lahan pertanian yang terdampak banjir akan meningkat dua kali lipat pada 2050, dengan risiko global naik sekitar 187 persen.
Selain itu, kekeringan memicu serangan hama dan penyakit tanaman, yang semakin mengancam produksi.
Menghadapi tantangan ini, pekebun dituntut memiliki sikap, kemampuan, dan resiliensi tinggi.
Menurut Benhamou, seorang peneliti dari CITA-Universidad de Zaragoza, resiliensi mencakup kemampuan pekebun untuk menjadi tangguh (robust), adaptif, dan transformatif.
Sikap optimistis dan adaptif memungkinkan pekebun menemukan alternatif untuk menghadapi tantangan.
Namun, sikap ini tidak datang begitu saja. Sebagian pekebun mungkin tidak memahami perubahan di sekitarnya, sehingga menjadi korban.
Untuk itu, penting bagi pekebun untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan mereka dalam menghadapi perubahan.
Menurut Sumardjo dari Institut Pertanian Bogor (IPB), ada empat tingkatan sikap manusia dalam menghadapi perubahan:
- Apatis atau Fatalis
Individu dengan sikap ini bersikap masa bodoh dan tidak peduli pada perubahan, sehingga menjadi korban. - Reaktif
Baru bertindak setelah terkena dampak, sehingga sering terlambat. - Proaktif
Aktif menghadapi risiko dan mencegah dampak lebih besar. - Antisipatif
Mampu membaca perubahan yang belum terjadi dan mempersiapkan diri lebih awal.
Tingkatan tertinggi adalah sikap antisipatif, yang menjadi dasar untuk bertransformasi menuju kondisi lebih baik. Resiliensi, sebagai kemampuan yang dapat dilatih, memungkinkan pekebun untuk bangkit dari tantangan.
Peningkatan resiliensi dapat dilakukan melalui penyuluhan pluralistik, pendekatan partisipatif yang melibatkan berbagai pihak.
Filosofi penyuluhan adalah meningkatkan kesejahteraan petani melalui pendidikan orang dewasa yang sistematis. Dengan pendekatan ini, pekebun dapat mengatasi tantangan subsektor perkebunan yang semakin kompleks.
Sebagai contoh, penyuluhan dapat membantu pekebun memahami pentingnya adaptasi terhadap perubahan iklim, seperti diversifikasi tanaman, penggunaan teknologi ramah lingkungan, atau manajemen risiko yang lebih baik.
Hari Perkebunan ke-67 adalah momen refleksi atas perjalanan panjang subsektor perkebunan di Indonesia. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, khususnya dampak perubahan iklim, masa depan subsektor ini tetap menjanjikan jika pekebun mampu bertransformasi menjadi tangguh, adaptif, dan antisipatif.
Dengan strategi yang tepat, subsektor perkebunan tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga berkembang, memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian dan ketahanan pangan Indonesia.
Sebuah perjalanan panjang yang layak diteruskan dengan optimisme dan kerja keras seluruh insan perkebunan.
(Sumber: kabarjawa.com)