KabarIndonesia.id — Pengurus Koordinator Perguruan Tinggi (PKPT) Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia (IPMIL) Raya Universitas Islam Makassar (UIM) mengawali awal tahun 2022 dengan menggelar Dialog Isu Kekerasan Seksual, Selasa (04/01).
Kegiatan tersebut berlangsung di Cafe Om Bren dengan menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang diantaranya Afni Afifa selaku Koordinator Bidang Kebijakan Publik KAMMI Unhas, Andini Sekjend IMIKI Cabang Makassar dan Hariandi Sekjend PB IPMIL Raya.
Afni menjelaskan kekerasan seksual terjadi akibat banyaknya faktor dan kurangnya pemahaman serta kesadaran tentang hak manusia dan hal tersebut dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan.
Menurutnya, masyarakat selama ini cenderung menyalahkan dan mengucilkan korban padahal pelaku adalah pihak yang sepenuhnya patut disalahkan.
"Kekerasan seksual merutku hadir dari penyimpangan pemahaman dan penyimpangan prilaku melacurkan ideologi diri sebagai bentuk pemuasan hasrat seksualitas, dan itu tidak melihat apakah itu perempuan ataupun laki-laki," ungkapnya.
Disamping itu, Hariandi turut menambahkan peran keluarga, masyarakat hingga pemerintah yang kurang dalam mensosialisasikan pentingnya mencegah dan memahami seperti apa kekerasan seksual sehingga hal ini turut menambah angka kenaikan kasus pelecehan di Indonesia.
Pihaknya menyebut peran keluarga dan masyarakat ikut mempengaruhi meningkatnya kasus kekerasan seksual dimana kurangnya pemahaman serta melekatnya budaya patriarki akan terus menghantui perempuan sebagai manusia yang paling banyak menjadi korban.
"Pentingnya adalah keluarga masyarakat hingga pemerintah dinas terkait mensosialisasikan terhadap anak sejak dini betapa pentingnya edukasi dan pencegahan kekerasan seksual seperti apa sehingga masyarakat sadar akan hal tersebut," tambahnya.
Selanjutnya, Andini turut mempertegas pola pikir masyarakat yang masih partriarki dan terkesan menyalahkan korban perkosaan karena pakaiannya menjadi hal yang banyak menyebabkan korban takut untuk melaporkan kasus yang dialaminya.
Menurutnya, menyalahkan korban atas pakaiannya tidak patut dibenarkan sebab korban kekerasan seksual dapat terjadi ke siapa saja baik laki-laki maupun perempuan serta contoh kasus justru terjadi di lingkungan pendidikan agama yang notabenenya berpakaian tertutup.
Pihaknya mempertegas korban kekerasan seksual sudah sepatutnya mendapatkan hak perlindungan, pengamanan dan pemulihan dan tidak lagi dianggap sebagai sebuah aib oleh keluarga.
"Kita harus berbenah dari pola pikir untuk tidak lagi menyalahkan korban dan mulai membentuk kesadaran atas hak setiap manusia dan memberikan ruang-ruang aman bagi mereka," jelasnya.