KabarIndonesia.id — Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) 1444 H/2023 M sebesar Rp69.193.733,60 per jamaah.
Usulan tersebut disampaikan Menag pada rapat Kerja bersama Komisi VIII DPR RI, Kamis, (19/01) lalu.
Kemenag mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2023 naik sebesar Rp 514.888,02.
Rata-rata BPIH yang diusulkan tahun 2023 ini adalah Rp98.893.909,11. Sementara rerata BPIH 2022 sebesar Rp98.379.021,09.
Langkah ini sontak mengundang pertanyaan, pasalnya kenaikan nilai BPIH hanya mengalami kenaikan Rp514.888,02 namun biaya Bipih yang harus ditanggung jamaah mengalami kenaikan drastis. Belum lagi Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi telah menyatakan menurunkan biaya haji tahun 2023 sebesar 30%.
Menanggapi hal tersebut, dilansir dari website kemenag.go.id, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latief menjelaskan, kenaikan terjadi karena perubahan skema prosentase komponen Bipih dan Nilai Manfaat.
Pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan dengan komposisi 70% Bipih dan 30% nilai manfaat.
"Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus habis," terang Hilman Sabtu (21/01).
Ia menjelaskan, pemanfaatan dana nilai manfaat sejak 2010 sampai dengan 2022 terus mengalami peningkatan.
Pada 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke jemaah hanya Rp4,45 juta. Sementara Bipih yang harus dibayar jemaah sebesar Rp30,05 juta. Komposisi nilai manfaat hanya 13%, sementara Bipih 87%.
Nilai manfaat, lanjut Hilman, bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Karenanya, nilai manfaat adalah hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrean berangkat. Mulai sekarang dan seterusnya, nilai manfaat harus digunakan secara berkeadilan guna menjaga keberlanjutan.
"Tentu kami juga mendorong BPKH untuk terus meningkatkan investasinya baik di dalam maupun luar negeri pasca pandemi Covid-19 ini, sehingga kesediaan nilai manfaat lebih tinggi lagi," tambahnya.
Jika komposisi Bipih dan Nilai Manfaat masih tidak proporsional, maka nilai manfaat akan cepat tergerus dan tidak sehat untuk pembiaayaan haji jangka panjang.
"Jika komposisi Bipih (41%) dan NM (59%), dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat cepat habis. Padahal jamaah yang menunggu 5-10 tahun akan datang juga berhak atas nilai manfaat," urainya.
Karena hal tersebut, Pemerintah dalam usulan yang disampaikan Menag saat Raker bersama Komisi VIII DPR, mengubah skema menjadi Bipih (70%) dan NM (30%).
"Mungkin usulan ini tidak populer, tapi Pak Menteri melakukan ini demi melindungi hak nilai manfaat seluruh jemaah haji sekaligus menjaga keberlanjutannya," tegasnya.
"Ini usulan pemerintah untuk dibahas bersama Komisi VIII DPR. Kita tunggu kesepakatannya, semoga menghasilkan komposisi paling ideal! Amin," pungkasnya.