Gubernur Jawa Barat Dorong Reaktivasi Seluruh Jalur Rel Mati, Tantangannya Tak Sederhana

Ilustrasi - Jalur kereta api

KabarIndonesia.id — Gubernur Jawa Barat, Dede Mulyadi, menggulirkan rencana ambisius: mengaktifkan kembali seluruh jaringan rel kereta api yang terbentang di provinsi tersebut. Gagasan serupa sejatinya telah dikemukakan oleh Ridwan Kamil saat masih menjabat. Namun, keterbatasan dukungan anggaran membuat realisasi terhambat. Hingga kini, hanya satu lintas yang berhasil dihidupkan kembali Cibatu-Garut sejauh 19,3 kilometer dengan pendanaan dari PT Kereta Api Indonesia.

Mengacu data Direktorat Jenderal Perkeretaapian tahun 2010, tercatat 14 lintasan kereta nonaktif di Jawa Barat: Banjar–Cijulang (83 km), Cikudapateuh–Ciwidey (27 km), Dayeuhkolot–Majalaya (18 km), Rancaekek–Jatinangor–Tanjungsari (12 km), Cirebon–Jamblang–Jatiwangi–Kadipaten (67 km), Mundu–Ciledug–Losari (40 km), Cibatu–Garut–Cikajang (47 km), Jatibarang–Indramayu (19 km), Cikampek–Cilamaya (28 km), Cikampek–Wadas (16 km), Karawang–Lamaran–Rengasdengklok (21 km), Lamaran–Wadas (15 km), Tasikmalaya–Singaparna (17 km). Hanya Cibatu–Garut yang telah dioperasikan kembali sejak 2022.

Stasiun Cikajang pernah menjadi titik tertinggi dalam jaringan perkeretaapian Indonesia, berada di ketinggian 1.246 meter di atas permukaan laut. Kini, predikat tersebut dipegang oleh Stasiun Nagreg yang berada di ketinggian 848 mdpl. Sejak 1982, Stasiun Cikajang dibiarkan terbengkalai setelah jalur Cibatu–Garut–Cikajang berhenti beroperasi (Info Garut, 2025).

Dibangun pada 1930, jalur Cibatu–Garut–Cikajang merupakan proyek monumental. Kepala proyek, R.H.J. Spanjaard, menyebutnya sebagai salah satu pembangunan tersulit di zamannya karena harus menembus gugusan pegunungan terjal. Hanya lokomotif berbobot besar seperti CC10, CC50, D14, dan DD52 yang mampu menaklukkan jalur tersebut.

Tahun 1970 menjadi puncak kejayaan jalur ini. Menarik perhatian pencinta kereta dari berbagai penjuru dunia, lintas sepanjang 47 km dari Cibatu ke Cikajang, dengan segmen Garut–Cikajang mencakup 28 km. Stasiun yang dilewati antara lain Wanaraja, Karangpawitan, Garut, Samarang, Kamojan (922 mdpl), Bayongbong (997 mdpl), dan Cisurupan (1.216 mdpl).

Selain fungsi angkut penumpang, jalur ini dulu berperan vital sebagai sarana distribusi hasil perkebunan, terutama teh. Cikajang dikenal sebagai penghasil teh utama di Garut. Lima kebun teh peninggalan Belanda berdiri di Giriwas, Cisaruni, Papandayan, Darajat, dan tentu saja Cikajang sendiri.

Jalur Cibatu–Garut–Cikajang merupakan cabang dari Stasiun Batu yang mengarah ke Cikajang melalui pusat kota Garut. Bagian Cibatu–Garut telah direaktivasi dan beroperasi kembali sejak 22 Maret 2022. PT KAI membangunnya ulang selama dua tahun, sejak 2019. Awalnya dibuka tahun 1889 dan berhenti melayani perjalanan pada 1983.

Aktivasi kembali jalur ini diyakini akan memantik geliat ekonomi dan pariwisata Garut. Potensi daerah Priangan yang terpendam bisa dibangkitkan kembali melalui konektivitas transportasi ini.

Jalur Banjar–Cijulang menyimpan lanskap menawan dan struktur infrastruktur bersejarah: Terowongan Phillip (283 m), Hendrik (105 m), Cikacepit (340 m), Juliana (127,4 m), hingga Wilhelmina (1.116 m). Juga terdapat jembatan ikonik seperti Cipambokongan (284,8 m) dan Cikabayutan (164 m). Jalur ini melewati Stasiun Banjar, Banjarsari, Padaherang, Kalipucang, Pangandaran, hingga Cijulang.

Potensi wisatanya luar biasa. Pangandaran telah dikenal sebagai destinasi unggulan Jawa Barat, memikat wisatawan domestik dan mancanegara.

Menghidupkan kembali jalur rel tak cukup dengan retorika. Diperlukan tekad politik, kepastian anggaran, serta sinergi lintas sektor. APBD provinsi tak mampu menanggung sendiri beban ini, mengingat prioritas pembangunan jalan di pelosok masih mendesak.

Mengandalkan sektor swasta pun bukan solusi mudah. Investasi rel terlalu mahal. Selain prasarana, operator juga harus menyediakan sarana transportasinya. Berbeda dengan jalan tol, yang cukup dibangun prasarana dan bisa langsung digunakan.

Masih banyak ruas jalan di pedalaman Jawa Barat yang tak bisa dilalui kendaraan karena berlumpur saat hujan. Kondisinya hanya berupa jalan tanah. Maka, mengalihkan fokus ke reaktivasi rel tanpa menyelesaikan akses jalan darat akan memunculkan ketimpangan pembangunan.

Di sisi lain, pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan justru memangkas lebih dari 50 persen anggaran. Dalam situasi ini, apakah reaktivasi jaringan rel di Jawa Barat masih mungkin diwujudkan?

Membangun rel yang telah lama mati bukan sekadar urusan fisik. Banyak lintasan dan stasiun kini telah berubah fungsi menjadi permukiman warga. Reaktivasi harus melibatkan Kementerian PUPR untuk menyediakan hunian layak bagi masyarakat yang terdampak. Lokasi relokasi pun harus mempertimbangkan jarak tempuh ke pusat aktivitas ekonomi.

Tanpa jaminan kemudahan mobilitas, reaktivasi akan menimbulkan masalah sosial baru. Fasilitas transportasi publik harus tersedia untuk menjamin konektivitas warga yang direlokasi.

Harapannya, langkah revitalisasi ini tidak berhenti pada wacana semata. Jika serius, Jawa Barat dapat menghidupkan kembali denyut sejarah yang terlupakan dan membuka cakrawala baru dalam perekonomian daerah.