Hari Guru: Menghargai Tanpa Melanggar Ajaran Islam

Ilustrasi Seorang Murid Memberikan Hadiah Kepada Gurunya. (INT)

KabarIndonesia.id — Hari Guru adalah momen yang istimewa, baik bagi siswa maupun orang tua, untuk memberikan penghargaan kepada guru atas segala dedikasi dan pengabdian yang telah mereka tunjukkan dalam mendidik.

Salah satu bentuk penghargaan yang umum dilakukan adalah dengan memberikan hadiah. Namun, pertanyaannya adalah apakah pemberian hadiah tersebut sesuai dengan ajaran Islam atau justru mengandung unsur yang dilarang dalam syariat?

Menurut Ustadz Hafiz Taqwa, L.C., M.Ed., seorang dosen Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, pemberian hadiah pada dasarnya adalah perbuatan yang dianjurkan dalam Islam.

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari:

تَهَادُوا تَحَابُّوا

“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa saling memberi hadiah merupakan suatu perbuatan yang positif dalam Islam, yang dapat meningkatkan rasa kasih sayang dan mempererat hubungan antar sesama.

Pemberian hadiah, dalam hal ini, bukan hanya sebagai bentuk penghargaan, tetapi juga sebagai sarana untuk saling berbagi kebahagiaan dan mempererat tali persaudaraan.

Namun, Ustadz Hafiz menegaskan bahwa pemberian hadiah dalam konteks pekerjaan, termasuk kepada guru, harus diperhatikan secara hati-hati.

Meskipun pemberian hadiah itu diperbolehkan, namun dalam konteks pekerjaan, seperti mengajar, pemberian hadiah bisa berubah menjadi masalah jika mengandung unsur gratifikasi, risywah (suap), atau pengaruh yang bisa memengaruhi sikap dan keputusan guru dalam menjalankan tugasnya.

Oleh karena itu, pemberian hadiah yang dilakukan oleh orang tua atau siswa kepada guru di luar ketentuan yang berlaku bisa menimbulkan potensi ketidakadilan.

Bahkan, lanjut Ustadz Hafiz, pemberian hadiah dalam konteks ini bisa menjadi beban tersendiri bagi wali murid yang merasa terpaksa untuk memberikan hadiah karena tekanan sosial atau tradisi.

“Bisa saja wali murid merasa tidak enak jika tidak mengikuti tradisi memberikan hadiah, padahal mereka mungkin tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya,” ujar Ustadz Hafiz.

Hal ini tentu saja dapat menciptakan ketidaknyamanan dan ketidakadilan di antara orang tua, dan ini perlu dihindari.

Selain itu, pemberian hadiah dalam bentuk seperti ini juga dapat bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.

Sebagai contoh, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah ﷺ memberikan peringatan terkait pemberian hadiah di luar upah yang telah ditentukan dalam pekerjaan:

مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا، فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
Siapa saja yang telah kami pekerjakan dan telah kami beri rezeki (upah tetap), maka semua harta yang dia dapatkan di luar hal itu adalah harta ghulul (khianat).” (HR. Abu Dawud: 2943)

Hadis ini mengingatkan kita bahwa pemberian tambahan berupa hadiah yang tidak sesuai dengan aturan yang telah disepakati dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak benar, atau bahkan bisa masuk kategori ghulul (khianat).

Dalam konteks ini, hadiah yang diberikan kepada guru di luar ketentuan yang jelas dan transparan bisa dianggap tidak sah dalam pandangan syariat, karena dapat menimbulkan ketidakadilan dan potensi penyalahgunaan wewenang.

Namun, Ustadz Hafiz tidak serta merta melarang pemberian hadiah secara keseluruhan. Ia memberikan solusi bagi orang tua yang ingin tetap menunjukkan rasa terima kasih kepada guru tanpa melanggar syariat Islam.

Salah satu cara yang disarankan adalah dengan menyerahkan hadiah melalui pihak sekolah. Dengan cara ini, guru tidak mengetahui siapa yang memberikan hadiah tersebut, sehingga tidak ada unsur subjektivitas atau keberpihakan dalam pemberian hadiah.

Ini juga dapat mencegah timbulnya persepsi bahwa hadiah tersebut diberikan untuk mendapatkan perlakuan istimewa dari guru.

Selain itu, pemberian hadiah juga bisa dilakukan apabila pihak sekolah memberikan izin kepada guru untuk menerima hadiah tersebut.

Dalam hal ini, mekanisme pemberian hadiah sudah melalui proses yang adil dan transparan, sehingga tidak ada unsur gratifikasi atau risywah yang dapat merusak objektivitas dan keadilan dalam mendidik.

Pihak sekolah bisa menetapkan aturan yang jelas mengenai pemberian hadiah, misalnya dengan mengatur nominal hadiah yang wajar dan tidak memberatkan orang tua, sehingga tidak ada pihak yang merasa terpaksa atau terbebani.

Islam sangat menganjurkan umatnya untuk saling memberi hadiah sebagai bentuk kasih sayang dan penghargaan.

Namun, dalam konteks pekerjaan, termasuk profesi guru, pemberian hadiah harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.

Pemberian hadiah yang tidak sesuai dengan aturan agama dapat berisiko menimbulkan ketidakadilan, gratifikasi, atau pengaruh yang tidak semestinya dalam proses pendidikan.

Oleh karena itu, dengan menyerahkan hadiah melalui mekanisme yang disetujui oleh pihak sekolah, umat Islam tetap bisa menunjukkan rasa terima kasih kepada guru tanpa melanggar ajaran agama.

Hal ini akan memastikan bahwa pemberian hadiah tersebut tidak hanya menjadi penghargaan yang tulus, tetapi juga sesuai dengan tuntunan Islam yang mengutamakan keadilan dan transparansi dalam setiap tindakan.

(Sumber: serambimuslim.com)