KabarIndonesia.id — Kelompok Islam Hayat Tahrir al-Sham (HTS) baru-baru ini mengumumkan kemenangan besar dalam perebutan kekuasaan di Suriah.
Pemimpin HTS, Abu Mohammed al-Jolani, menyampaikan pidato kemenangan tersebut di sebuah masjid terkenal di Damaskus, ibu kota Suriah.
Dalam pidatonya, al-Jolani memuji peristiwa tersebut sebagai momen bersejarah, sekaligus mengecam rezim Bashar al-Assad yang telah memerintah Suriah selama lebih dari dua dekade.
Dalam pidato tersebut, al-Jolani menyatakan, “Rezim (al-Assad) telah memenjarakan ribuan warga sipilnya sendiri secara tidak adil dan tanpa melakukan kejahatan apa pun,” seraya menambahkan bahwa kemenangan ini adalah buah dari perjuangan keras rakyat Suriah.
“Kami adalah pemilik sah negara ini, kami telah berjuang, dan hari ini kami diganjar dengan kemenangan ini,” lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa kemenangan ini menandai lahirnya sejarah baru bagi Suriah.
Setelah pernyataan kemenangan tersebut, al-Jolani menggambarkan kemenangan ini sebagai awal dari babak baru yang penting dalam sejarah Suriah.
“Sebuah sejarah baru, saudara-saudaraku, sedang ditulis di seluruh wilayah setelah kemenangan besar ini,” ujar al-Jolani kepada ribuan masyarakat yang hadir di Masjid Umayyah, Damaskus.
Suriah, yang terletak di kawasan Timur Tengah, berbatasan langsung dengan beberapa negara seperti Turki, Irak, Yordania, Israel, dan Lebanon, memiliki keragaman etnis dan agama.
Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, negara ini juga dihuni oleh berbagai kelompok etnis dan agama lainnya.
Berdasarkan data dari Departemen Luar Negeri AS, sekitar 74 persen penduduk Suriah adalah Muslim Sunni, sementara 12 persen Alawi, 10 persen Kristen, 3 persen Druze, dan sisanya merupakan kelompok minoritas lainnya, termasuk Yahudi dan Yazidi.
Konflik di Suriah bermula pada 2011 ketika sejumlah kelompok oposisi, yang sebagian besar didukung oleh kekuatan asing, mulai memberontak untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad.
Rezim al-Assad, yang telah memerintah Suriah selama lebih dari setengah abad, mengalami berbagai tantangan sejak dimulainya perang saudara.
Sebelumnya, negara ini berada di bawah kekuasaan keluarga al-Assad sejak Hafez al-Assad naik ke tampuk kekuasaan pada 1970.
Hafez meninggal dunia pada 2000 dan digantikan oleh putranya, Bashar al-Assad, yang kemudian memerintah dengan cara yang sangat otoriter.
Menurut laporan Al-Jazeera, pada 27 November 2024, kelompok oposisi yang dipimpin oleh HTS dan didukung oleh sekutu-sekutu Turki mereka, melancarkan serangan besar-besaran yang mereka sebut dengan nama Operasi Pencegahan Agresi.
Serangan ini menargetkan pasukan pemerintah Suriah, dengan fokus pertama kali pada wilayah Idlib dan Aleppo.
Tidak lama setelah itu, dalam waktu hanya tiga hari, pasukan oposisi berhasil merebut kota terbesar kedua di Suriah, Aleppo.
Dalam waktu kurang dari dua minggu setelah dimulainya serangan, pasukan HTS berhasil menguasai sebagian besar wilayah Suriah, termasuk ibu kota Damaskus.
Pada 8 Desember 2024, pasukan HTS mengumumkan bahwa mereka telah berhasil merebut Damaskus dan membebaskan Suriah dari rezim al-Assad.
Laporan dari BBC menyebutkan bahwa Bashar al-Assad dan keluarganya dilaporkan melarikan diri dari Damaskus dan tiba di Moskow, di mana mereka diberikan suaka politik dengan alasan kemanusiaan.
Hayat Tahrir al-Sham (HTS) adalah koalisi kelompok militan Islam yang awalnya berafiliasi dengan al-Qaeda.
Kelompok ini muncul setelah dimulainya Perang Saudara Suriah pada 2011, dan sempat dikenal dengan nama Jabhat al-Nusra, yang dipimpin oleh Abu Mohammed al-Jolani.
Pada tahun 2017, Jabhat al-Nusra mengubah namanya menjadi Hayat Tahrir al-Sham, yang menyatakan dirinya sebagai kelompok yang lebih independen meski masih memiliki hubungan erat dengan al-Qaeda.
HTS dikenal sebagai salah satu kelompok paling dominan di wilayah barat laut Suriah, khususnya di provinsi Idlib.
Sebagai kelompok yang berhaluan Salafi-jihadis, HTS dikenal sangat keras dalam menerapkan hukum syariah, dan ideologi mereka sering kali bertentangan dengan negara-negara Barat.
Oleh karena itu, HTS dianggap sebagai kelompok teroris oleh banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Meskipun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, HTS juga mencoba membangun pengaruh politik di Suriah, dengan menggali dukungan dari berbagai kelompok lokal dan pasukan oposisi lainnya.
Peran mereka dalam perang saudara Suriah sangat penting, dan keberhasilan mereka dalam merebut kekuasaan di Damaskus adalah titik balik besar dalam konflik yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.
Meskipun HTS telah mendeklarasikan kemenangan dan menguasai sebagian besar Suriah, masa depan negara ini tetap tidak pasti.
Proses transisi politik yang dimulai dengan kekalahan Bashar al-Assad masih penuh tantangan, mengingat adanya ketegangan yang melibatkan berbagai kelompok etnis, agama, dan kepentingan internasional.
Sementara itu, banyak negara, termasuk Rusia dan Iran, yang telah mendukung rezim al-Assad, kemungkinan akan mencari cara untuk mempengaruhi situasi politik di Suriah pasca-perang ini.
Kemenangan HTS juga menimbulkan pertanyaan tentang arah kebijakan luar negeri kelompok ini, terutama mengenai hubungan mereka dengan negara-negara besar seperti Turki dan Amerika Serikat.
Seiring dengan perubahan besar yang sedang terjadi di Suriah, dunia akan mengawasi bagaimana HTS akan mengelola kekuasaan dan apakah mereka akan mempertahankan pendekatan radikal yang selama ini mereka anut atau berusaha untuk beradaptasi dengan kondisi baru yang lebih kompleks.
(Sumber: serambimuslim.com)