KabarIndonesia.id — Memasuki musim hujan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah terus meningkatkan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan bencana guna mengantisipasi potensi ancaman yang kerap terjadi di wilayah tersebut. Langkah ini dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak dan unsur masyarakat untuk memastikan kesiapan menghadapi bencana.
“Mitigasi bencana dan kesiapsiagaan sudah kita siapkan. Kemarin kita juga sudah apel kesiapsiagaan. Jadi semua unsur diminta untuk menyiapkan, kita cek peralatan, logistik, dan sebagainya,” ungkap Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sumarno, saat ditemui di Magelang pada Sabtu (07/12/2024).
Sumarno menegaskan bahwa langkah mitigasi telah dilaksanakan secara terstruktur dan rutin. Setiap wilayah di Jawa Tengah memiliki karakteristik bencana yang berbeda sehingga penanganan disesuaikan dengan kondisi tersebut.
“Untuk di daerah Jateng bagian utara, identifikasi potensi kerawanannya adalah banjir. Sedangkan untuk di Jateng bagian tengah, berpotensi longsor,” jelasnya.
Selain menyiapkan logistik dan peralatan, langkah proaktif juga dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara langsung, termasuk melalui jambore relawan bencana alam. Kegiatan ini bertujuan memperkuat koordinasi antarrelawan yang bertugas di lapangan, sekaligus memberikan pelatihan kepada mereka.
“Jambore relawan disabilitas ini luar biasa, karena teman-teman disabilitas punya komitmen besar, untuk berkontribusi dalam kesiapsiagaan bencana,” ujar Sumarno.
Keberadaan relawan disabilitas menjadi sorotan positif karena menegaskan pentingnya inklusivitas dalam penanganan bencana. Mereka tidak hanya berperan dalam memberikan dukungan bagi sesama penyandang disabilitas, tetapi juga menjadi bagian dari solusi penanganan bencana di komunitas mereka.
Penjabat Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana, sebelumnya telah mengimbau seluruh elemen masyarakat, termasuk para kepala daerah, untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bencana yang kerap terjadi selama musim hujan.
Pemerintah daerah hingga tingkat desa diminta memantau perkembangan cuaca yang diinformasikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
“Pemerintah kabupaten/kota sampai tingkat desa, diminta untuk memantau perkembangan cuaca yang disampaikan oleh BMKG,” katanya.
Data BMKG menunjukkan bahwa beberapa daerah di Jawa Tengah mulai mengalami curah hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi.
Hal ini mengakibatkan sejumlah kejadian, seperti tanggul jebol dan tanah longsor di beberapa wilayah. Nana juga menekankan pentingnya mitigasi berbasis komunitas agar masyarakat dapat secara aktif menjaga keselamatan diri dan lingkungan.
Bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana, seperti di dekat tebing, perbukitan, atau bantaran sungai, Nana memberikan imbauan agar mereka segera mengambil langkah-langkah antisipasi saat intensitas hujan meningkat.
“Masyarakat yang rumahnya dekat dengan tebing atau di perbukitan, juga dekat dengan sungai, harap berhati-hati. Ketika hujan sudah mulai intens, kita harapkan untuk waspada, kita harapkan mengungsi ke tempat yang lebih aman yang sudah disiapkan,” tambahnya.
Imbauan ini mencerminkan perlunya pendekatan yang tidak hanya mengandalkan aparat pemerintah, tetapi juga kesadaran kolektif dari masyarakat. Pengungsian ke tempat aman menjadi bagian dari langkah yang direncanakan untuk meminimalkan risiko kehilangan nyawa.
Investigasi menunjukkan bahwa upaya mitigasi di Jawa Tengah juga didukung oleh kolaborasi antarinstansi. Posko siaga bencana telah disiapkan di berbagai lokasi strategis, lengkap dengan perlengkapan darurat seperti perahu karet, alat komunikasi, dan logistik makanan.
Dalam beberapa insiden sebelumnya, respons cepat dari tim gabungan telah membantu menyelamatkan warga dari potensi bahaya.
Namun, tantangan tetap ada, terutama di wilayah pedesaan yang aksesibilitasnya terbatas. Banyak daerah rawan longsor yang sulit dijangkau, sehingga menuntut perhatian khusus dalam perencanaan evakuasi. Selain itu, tingkat kesadaran masyarakat terhadap tanda-tanda awal bencana masih perlu ditingkatkan melalui edukasi berkelanjutan.
Di sisi lain, peran BMKG sangat penting dalam memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Dengan pemanfaatan teknologi, informasi tentang cuaca ekstrem dapat diterima lebih cepat. Namun, distribusi informasi ini belum merata, terutama di wilayah terpencil yang tidak terjangkau jaringan komunikasi modern.
Keterlibatan relawan disabilitas yang disebutkan Sumarno menjadi salah satu bentuk inovasi dalam kesiapsiagaan bencana. Mereka tidak hanya menerima pelatihan tentang teknik evakuasi, tetapi juga berperan sebagai agen perubahan di komunitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan bencana dapat menjadi wadah pemberdayaan kelompok rentan.
Langkah ini diapresiasi oleh banyak pihak karena membangun semangat solidaritas di masyarakat. Keberhasilan program ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia untuk memperluas inklusivitas dalam mitigasi bencana.
Mitigasi dan kesiapsiagaan bencana menjadi prioritas utama di Jawa Tengah, terutama memasuki musim hujan yang rawan menimbulkan ancaman seperti banjir dan tanah longsor. Melalui koordinasi yang solid antara pemerintah, masyarakat, dan relawan, upaya ini diharapkan mampu mengurangi risiko bencana.
Namun, tantangan seperti aksesibilitas di daerah terpencil dan penyebaran informasi yang merata harus terus menjadi perhatian. Dengan mengedepankan inklusivitas dan kolaborasi, Jawa Tengah dapat menjadi model penanganan bencana yang berkelanjutan.
Langkah konkret yang telah dilakukan, termasuk apel kesiapsiagaan, pemantauan cuaca oleh BMKG, hingga pelibatan relawan disabilitas, menunjukkan komitmen kuat pemerintah untuk melindungi warganya dari dampak bencana alam.
(Sumber: kabarjawa.com)