KabarIndonesia.id–Presiden Joko Widodo belum meneken Omnibus Law Cipta Kerja, meski batas waktu penandatangan akan berakhir.
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden memiliki waktu 30 hari untuk meneken atau tidak meneken suatu UU hasil pengesahan DPR sebelum UU itu berlaku. Tanpa tanda tangan Presiden pun, UU itu otomatis akan tetap berlaku.
Usai disahkan DPR pada 5 Oktober 2020, secara matematika, batas waktu penandatangan akan jatuh pada 4 November 2020. Namun, hingga Senin (2/11), Jokowi belum meneken UU Ciptaker.
Pada Senin (26/10) lalu, pihak Istana Kepresidenan menyatakan belum mengetahui kapan Jokowi akan meneken UU kontroversial tersebut.
"Waktunya belum pasti. Yang jelas, karena waktunya 30 hari, jadi sabar saja. Dalam waktu dekat," kata Tenaga Ahli Kedeputian Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian.
Sejak UU Cipta Kerja disahkan di rapat paripurna, 5 Oktober 2020, gelombang aksi unjuk rasa dari kalangan buruh dan mahasiswa menolak UU tersebut pecah di sejumlah daerah, termasuk Jakarta. Mereka menolak UU itu disahkan.
Buruh dan mahasiswa juga meminta Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan UU tersebut. Jokowi dianggap sebagian kalangan mengulur waktu hingga UU tersebut sah setelah 30 hari diketok di Paripurna DPR, meski tanpa tanda tangan dia.
Pengamat Politik Universitas Indonesia Cecep Hidayat berpendapat sikap Jokowi tersebut sebagai strategi mengulur waktu agar polemik bola panas UU Cipta Kerja bergulir ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejak awal, pemerintah maupun DPR sudah mengimbau agar para penolak UU Cipta Kerja mengajukan uji materi ke MK.
"Saya kira ke arah sana, Jokowi mungkin akan meminta pihak-pihak yang berbeda itu, ya sudah ajukan saja judicial review Omnibus Law. Jadi semua diarahkan ke proses legal formal, lempar bola lagi ke MK," kata Cecep Senin (2/11).
Cecep mengatakan, dalam waktu hampir satu bulan, Jokowi tidak melakukan sesuatu untuk membatalkan UU tersebut. Ia bahkan tak melihat Jokowi maupun pemerintah menyerap aspirasi dari kalangan buruh dan mahasiswa yang menolak UU tersebut selama satu bulan ini.
"Karena begini, sepanjang sebulan ini ada demo, apa respons pemerintah? Diterima enggak? Enggak ada juga kan," ujar Cecep.
"Kalau kita lihat beberapa kali, kecenderungan pemerintah dia mengarahkan ke legal formal," kata dia menambahkan.
Kendati begitu, Cecep menilai membatalkan UU Cipta Kerja juga akan sulit terlaksana di MK. Hal ini ditengarai dengan disahkannya UU MK per 1 September.
Ia menduga UU MK sebagai 'barter' agar hakim MK menyetujui UU Cipta Kerja. Terlebih, jauh-jauh hari Jokowi sudah meminta agar MK mendukung Omnibus Law Cipta Kerja.
"Bargain position-nya itu jadi MK mendukung Omnibus Law atau justru MK berpihak pada para pengusul uji materi. Tapi dengan ada trade off ini, kemungkinan akan sepakat dengan UU ini," ungkap dia.
MK belum berkomentar soal dugaan barter yang dilontarkan Cecep.
Menurut Cecep, pihak-pihak yang berencana mengajukan gugatan ke MK harus bisa menggandeng ahli hukum kompeten dan data-data yang kompeten. Di sisi lain, publik juga perlu terus mengawasi jalannya persidangan uji materi di MK.
"(Agar) menjadi tekanan publik. Kalau enggak ada tekanan publik, MK dengan trade off tadi saya kira enggak akan loloskan judicial review," kata dia.
Citra Positif
Pengamat politik Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo di sisi lain melihat langkah mengulur waktu itu memberikan keuntungan bagi Jokowi. Salah satunya mengenai citra positifnya. Kunto menilai, dengan tidak meneken UU tersebut, Jokowi seakan-akan mendengarkan tuntutan publik terkait penolakan UU Cipta Kerja.
"Seakan-akan dia reluctant dan mendengarkan tuntutan dari publik, walaupun dia tidak bisa membatalkan UU tersebut, karena sudah diketok DPR. Jadi dia melempar bola panas ke DPR atau ke lembaga negara lain," ujar Kunto.
Kemudian, sikap Jokowi itu juga dianggap dapat meningkatkan posisi tawar atau bargaining politik yang lebih besar kepada DPR. Ia menilai sikap itu akan mempersepsikan bahwa Jokowi berlawanan dengan DPR.
"Kalau pada prinsip politiknya kita enggak tahu apa yang terjadi di belakang, tapi paling tidak publik akan mempersepsi seperti itu," katanya.
Di sisi lain, sikap mengulur waktu Jokowi ini akan mendapatkan persepsi negatif dari pihak-pihak yang mendukung UU Cipta Kerja, apalagi dari kalangan pengusaha. Paling tidak, dari persepsi mereka, Jokowi dianggap kurang tegas.
Pasalnya, sejak awal Jokowi yang menginisiasi Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, sampai saat ini, dia tidak meneken UU tersebut untuk segera diundangkan.
"Paling tidak Jokowi mungkin Jokowi akan dipersepsi oleh para pendukung UU Cipta Kerja sebagai presiden yang agak plin plan, dan tidak punya sikap tegas, karena Jokowi yang propose UU ini, tapi ketika disahkan tidak mau tanda tangan," katanya.