Kenaikan PPN Menjadi 12% Dapat Menambah Beban Masyarakat

Ilustrasi PPN Naik Pada 2025 Menjadi 12% Menambah Beban Masyarakat. DOC: (INT)

KabarIndonesia.id — Pada 1 Januari 2025, pajak pertambahan nilai (PPN) akan mengalami kenaikan menjadi 12%. Kebijakan ini, yang merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), diprediksi akan semakin memberatkan beban masyarakat, terutama di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang diperkirakan masih melambat.

Kenaikan PPN ini menjadi perhatian banyak pihak, mengingat efeknya yang berpotensi menyentuh banyak lapisan masyarakat. Kenaikan pajak ini bertepatan dengan proyeksi ekonomi yang tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan cepat. Dalam situasi ini, masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, akan semakin tertekan, sementara daya beli mereka semakin menurun.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, dalam webinar yang digelar oleh Universitas Paramadina dan INDEF pada 2 Desember 2024, menyatakan bahwa kondisi fiskal Indonesia pada tahun 2024 sangat menantang dan berpotensi berlanjut pada 2025 hingga 2026. “Pada saat yang sama, daya beli masyarakat menurun. Pertumbuhan ekonomi melambat dan dunia usaha mengalami kesulitan,” katanya.

Menurut Wijayanto, kebijakan kenaikan PPN ini semakin mengkhawatirkan mengingat situasi ekonomi yang sedang lesu. Perekonomian Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, dan keputusan pemerintah untuk menaikkan pajak justru dapat memperburuk keadaan. Kenaikan ini, menurutnya, sangat mungkin akan menambah beban bagi masyarakat, yang saat ini sudah kesulitan untuk bertahan di tengah inflasi dan harga barang yang semakin mahal.

Sementara itu, banyak pengamat ekonomi yang mengkritisi kebijakan ini karena berpotensi mengurangi konsumsi domestik. Masyarakat yang semakin tertekan secara finansial cenderung akan mengurangi belanja konsumsi mereka. Akibatnya, sektor riil yang bergantung pada konsumsi masyarakat akan merasakan dampaknya.

Adrian Azhar Wijanarko, Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN akan berdampak buruk pada generasi Z dan milenial. Generasi ini sudah menghadapi tekanan untuk mandiri secara finansial dan bersaing dalam dunia kerja yang semakin kompetitif. Selain itu, mereka juga menghadapi tantangan dari sektor perbankan dan kebijakan pemerintah.

“Tekanan eksternal berupa ketidakpastian ekonomi global, persaingan kerja, tekanan sektor perbankan, dan kebijakan pemerintah membuat kondisi ini semakin sulit bagi generasi muda,” ujar Adrian. Ia menambahkan bahwa generasi Z dan milenial menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap dampak ekonomi ini karena mereka berada pada tahap awal membangun kehidupan finansial mereka.

Kondisi ini diperparah dengan adanya kenaikan PPN yang akan semakin membebani keuangan mereka. “Kenaikan PPN berpotensi menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, yang akhirnya akan mengurangi daya beli masyarakat,” lanjutnya. Kenaikan harga ini akan berimbas pada pengeluaran mereka yang semakin terbatas.

Sebagai akibat dari peningkatan harga, generasi Z dan milenial kemungkinan akan lebih cenderung menabung untuk masa depan, seperti untuk biaya pendidikan, pembelian properti, dan investasi. Mereka diprediksi akan mengurangi pengeluaran dan lebih fokus pada strategi keuangan jangka panjang. “Kenaikan PPN berpengaruh pada perilaku konsumsi dan keputusan keuangan mereka,” tambah Adrian.

Dari sisi perilaku finansial, Adrian menilai bahwa generasi muda cenderung mengutamakan tabungan dan investasi, ketimbang pengeluaran konsumtif. Mereka mulai lebih selektif dalam membeli barang dan jasa, serta mengurangi pengeluaran yang dianggap tidak mendesak. Hal ini juga bisa berdampak pada sektor-sektor tertentu yang bergantung pada konsumsi barang dan jasa oleh generasi muda.

Dengan demikian, meskipun kenaikan PPN bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, hal ini justru bisa menyebabkan penurunan konsumsi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik. Konsumsi rumah tangga yang berkurang akan berpotensi menurunkan laju pertumbuhan PDB negara.

Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman, menambahkan bahwa kenaikan PPN akan menambah beban ekonomi, terutama bagi masyarakat miskin. “Kenaikan PPN 12% akan mempengaruhi perekonomian nasional dan memperburuk ketimpangan sosial,” ujarnya.

Menurut Rizal, kebijakan ini akan memberikan dampak yang lebih berat bagi masyarakat miskin, yang sebagian besar menghabiskan pendapatan mereka untuk kebutuhan dasar. Kenaikan harga barang dan jasa yang disebabkan oleh kenaikan PPN akan semakin menyulitkan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Selain itu, Rizal memperingatkan bahwa kenaikan PPN akan memperburuk daya saing ekspor Indonesia. Kenaikan harga produk dan barang domestik akibat kenaikan pajak akan meningkatkan overhead biaya produksi. Hal ini berpotensi mengurangi daya saing industri Indonesia di pasar global.

Lebih jauh lagi, Rizal mengungkapkan bahwa kenaikan PPN juga dapat memicu inflasi. “Harga barang dan jasa yang meningkat akan mengurangi daya beli masyarakat, sementara kenaikan biaya produksi akan mempengaruhi sektor industri, terutama yang padat karya,” katanya. Kenaikan inflasi ini, menurut Rizal, akan membuat masyarakat semakin tertekan karena daya beli mereka semakin menurun.

Inflasi yang meningkat juga akan berdampak pada kestabilan ekonomi. Masyarakat yang menghadapi harga yang semakin tinggi akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Selain itu, perusahaan yang bergantung pada konsumsi domestik juga akan menghadapi kesulitan karena daya beli yang menurun.

Rizal juga memproyeksikan bahwa kenaikan PPN dapat berdampak pada penurunan Produk Domestik Bruto (PDB). “PDB diperkirakan akan turun sekitar 0,17% akibat kenaikan PPN ini. Penurunan ini berasal dari turunnya konsumsi rumah tangga dan penurunan penyerapan tenaga kerja,” terang Rizal.

Penurunan PDB ini menjadi indikator bahwa dampak dari kenaikan PPN tidak hanya terbatas pada sektor konsumsi, tetapi juga akan merambat ke sektor lain. Jika konsumsi rumah tangga menurun, maka perusahaan-perusahaan yang bergantung pada pasar domestik juga akan mengalami penurunan omzet. Hal ini berpotensi menurunkan serapan tenaga kerja, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat pengangguran.

Selain itu, Rizal menambahkan bahwa ekspor Indonesia juga diperkirakan akan mengalami penurunan akibat kenaikan biaya produksi dan harga barang. Hal ini diperkirakan akan membuat indeks harga konsumen (inflasi) dan biaya investasi juga meningkat. Kenaikan biaya investasi atau ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang semakin tinggi akan memperburuk iklim investasi di Indonesia.

Penurunan ekspor ini menjadi perhatian serius, mengingat sektor ekspor Indonesia adalah salah satu penopang utama perekonomian. Jika ekspor menurun, maka potensi pendapatan negara juga akan tergerus, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi stabilitas ekonomi jangka panjang.

Sementara pemerintah berargumen bahwa kenaikan PPN adalah bagian dari upaya untuk memperbaiki kondisi fiskal negara, banyak kalangan yang menilai kebijakan ini akan semakin membebani masyarakat, terutama di tengah ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi. Pengaruhnya terhadap daya beli masyarakat dan daya saing ekonomi Indonesia menjadi perhatian serius.

Dampak dari kebijakan ini perlu ditinjau lebih dalam, terutama untuk generasi muda dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang akan merasakan dampaknya secara langsung. Masyarakat, baik dalam negeri maupun dunia usaha, dihadapkan pada tantangan berat dalam menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Sementara itu, pemerintah harus memastikan bahwa kenaikan PPN ini tidak semakin memperburuk ketimpangan sosial yang ada.

(Sumber: kabarjawa.com)