KabarIndonesia.id — Harmoko, mantan Menteri Penerangan yang fenomenal di era pemerintahan Soeharto berpulang ke rahmatullah Minggu malam (04/07/21) di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat dalam usia 82 tahun. Telah dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Senin siang (05/07/21) dengan protokol kesehatan yang ketat. "Pemulasaraan jenazah secara Covid-19," ujar Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Letnan Jenderal TNI Albertus Budi Sulistya. Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G.Plate mewakili pemerintah melepas almarhum ke tempat peristirahatan terakhir.
Pertama kali saya mengenal Harmoko ketika berlangsung Kongres PWI “Integrasi” ke XV di Tretes, Malang Jawa Timur (30 November – 1 Desember 1973). Saya (PWI BM Diah) menghadiri kongres bersama almarhum Rahman Arge (PWI Rosihan) berusia 38 tahun dan dengan beberapa wartawan senior lainnya sebagai delegasi PWI Sulawesi Selatan. Umur saya 27 tahun. Disebut PWI “Integrasi” karena kongres itu bertujuan menyatukan kepengurusan PWI BM Diah dan PWI Rosihan. Harmoko terpilih menjadi Ketua Umum dengan diembel-embeli istilah “Dewan Pelaksana”, didampingi Brigjen TNI AD (Pur) Sunardi DM sebagai Sekertaris Umum, dia dikenal sebagai penulis serial cerita wayang dan Pemimpin Redaksi koran Berita Yudha milik Angkatan Darat.
Perhelatan di Tretes itu sengaja diadakan untuk mengakhiri dualisme dalam tubuh PWI. Sekaligus sebagai jalan tengah “memotong” kelanjutan perseteruan dua kubu dedengkot PWI Pusat. Itulah ekses Kongres PWI ke XIV di Palembang 14-19 Oktober 1970. Ketika terpilih di Tretes, Harmoko berusia 34 tahun. Dia adalah Ketua PWI Jaya pendukung PWI Rosihan. Delegasi Sulawesi Selatan, adalah salah satu yang termasuk paling nyaring menyuarakan nama Harmoko sebagai calon Ketua Umum untuk mendorong regenerasi di tubuh PWI. Adapun BM Diah (56) dan Rosihan Anwar (51) akhirnya disatukan di dalam wadah jabatan yang juga baru diciptakan yang disebut “Dewan Pembina”. Tempat “penampungan” wartawan senior dan pemimpin redaksi. Termasuk Jacob Oetama (Kompas) dan H.G. Rorimpandey (Sinar Harapan) untuk menyebut nama beberapa tokoh pers.
Sejak 1974 saya hijrah ke Jakarta menjadi wartawan kebudayaan Harian Angkatan Bersenjata (media resmi Hankam). Menulis khusus resensi pementasan acara kesenian dan kebudayaan di TIM (Taman Ismail Marzuki) dan film Indonesia produksi baru. Pada tahun 1979 ketika saya memproses rekomendasi untuk menjadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Mingguan Barata di Jakarta, ternyata diharuskan melakukan mutasi domisili dari PWI Sulawesi Selatan di Makassar untuk menjadi anggota PWI Jaya (waktu itu ketuanya adalah Zulharmans). Wartawan kawakan yang sangat tegas tapi baik hati. Dia menganjurkan saya menemui Harmoko, Ketua Umum PWI Pusat di rumahnya untuk meminta tanda tangan rekomendasi persetujuan mutasi. Beberapa tahun kemudian sesudahnya saya menjadi pengurus PWI Jaya dua periode. Bidang Kesra (1987) lalu bidang Hukum (1991).
Didampingi adik saya Ilham Bintang, hari itu juga saya meluncur ke rumah Harmoko. Waktu itu sore menjelang Magrib di kawasan Rawamangun. Saya menunggu di ruang tamu sampai dia keluar menemui saya. Spontan dia memberi dukungan untuk pindah ke Jakarta. Tidak lupa dititipi beberapa “pesan khusus”. Rekomendasi tersebut ditanda tanganinya saat itu juga. Sebagai wartawan terlihat dia “anti birokrasi”. Gerak cepat. Saya lebih merasakannya sebagai simpati dan solidaritas kepada nasib sesama wartawan. Menteri Penerangan waktu itu adalah Mayjen TNI AD Ali Moertopo yang terkenal dengan “Opsus”nya (Operasi Khusus). Ali Moertopo sangat terbantu oleh kelincahan dan kreatifitas Harmoko merebut hati teman – teman wartawan. Tua dan muda. Kepemimpinannya yang supel dan kekeluargaan berhasil menumbuhkan soliditas dan simpati wartawan di seluruh Indonesia kepadanya.
Di era kepemimpinannya, Harmoko menggagas tradisi nasional pertemuan rutin tahunan insan pers seluruh Indonesia di Jakarta yang disebut “Pertemuan Akbar Pemimpin Redaksi dan Pengurus PWI Seluruh Indonesia” selama kurang lebih 5 hari. Acara diisi dengan ceramah secara bergantian menteri strategis di era Soeharto. Dan berujung pada pertemuan bincang – bincang santai dengan Presiden Soeharto di Istana Negara sambil melaporkan hasilnya. Kesuksesan beberapa kali “pertemuan akbar” itu, mengukuhkan anggapan Soeharto bahwa Harmoko bisa “menguasai” insan pers.
Harmoko kemudian mendapat kado istimewa. Dia berhasil menarik simpati dan kepercayaan Soeharto. Diangkat menjadi (Menpen) Menteri Penerangan menggantikan Ali Moertopo pada Kabinet Pembangunan IV (1983 -1988) dan berlanjut pada Kabinet Pembangunan V (1988 -1993) dan masih berlanjut sebagai Menpen pada Kabinet Pembangunan VI (1993 – 1998). Namun, pada 6 Juni 1997, mendadak Harmoko digantikan oleh Jenderal R. Hartono (waktu itu adalah KASAD) sebagai Menpen. Harmoko adalah sipil pertama yang terpilih sebagai Ketua Umum Golkar (1993 – 1998) menggantikan Letjen. TNI AD (Pur) Wahono. Lalu menjadi Ketua DPR/MPR RI (1997 – 1998). Kiprah Harmoko yang melegenda secara politis adalah ketika mendukung Soeharto sebagai presiden tujuh periode, sekaligus “nekat” memintanya turun, setelah menjabat kurang lebih 70 hari lamanya (11 Maret 1998 – 21 Mei 1998), digantikan BJ.Habibie, yang semula Wakil Presiden.
Sebagai pengganti Harmoko menjabat selaku Ketua Pelaksana Tugas Ketua Umum PWI Pusat, dipercayakan kepada Atang Ruswita (11 Maret 1983 sampai November 1983), sampai tiba pada Kongres PWI XVII berikutnya di Manado (14-16 November 1983) yang memilih Zulharmans sebagai Ketua Umum dan Atang Ruswita sebagai Sekjen. Zulharmans dikenal sebagai “soulmate”nya. Tapi, setelah “pertemuan akbar” berlangsung dua atau tiga kali di era Harmoko sebagai Menpen, tradisi itu kemudian dihentikan. Entah apa sebabnya. Di era Harmokolah dikeluarkan Permenpen (Peraturan Menteri Penerangan) No.1 tahun1984 yang mengharuskan semua perusahaan penerbitan pers (surat kabar) berbadan hukum PT (Perseroan Terbatas) sebagai persyaratan memperoleh SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sebagai pengganti SIT (Surat Izin Terbit) yang lama.
Dengan badan hukum PT, penerbit diwajibkan memberi saham 20% kepada wartawan dan karyawan pers. Bertujuan sebagai jaminan hidup wartawan dan karyawan pers jika korannya kena “breidel”. Sebelumnya penerbit kebanyakan Yayasan atau Firma berbasis SIT dari Deppen (Departemen Penerangan), dilengkapi SIC (Surat Izin Cetak) dari Laksusda/Kopkamtibda). Di masa itu wartawan dan karyawan pers bukan pemegang saham. Kalau medianya kena “breidel” wartawan dan karyawan gigit jari. Ini membuktikan di dalam diri Harmoko mengalir darah wartawan. Keberpihakannya itu!
Keunggulan almarhum Harmoko yang lain : sanggup hafal satu persatu nama Pemimpin Redaksi dan Ketua PWI Seluruh Indonesia. Waktu itu surat kabar yang boleh terbit di seluruh Indonesia ada sekitar 250an izin. Termasuk koran saya. Harmoko mampu menyebut satu persatu nama setiap kali bertemu rekan wartawan ketika berlangsung acara rutin “pertemuan akbar” itu. Hal ini tentu didukung latar belakangnya sebagai dalang yang mewajibkannya menghafal satu persatu nama wayang kulit yang dipegangnya. Karena muka wayang kulit itu nyaris serupa semua. Apalagi selalu dimiring-miringkan.
Di era Harmoko pula ada budaya “sensor” telpon. Itulah “budaya” pejabat Deppen untuk menegur pemimpin redaksi soal pemberitaan yang menimbulkan reaksi. Menurut Harmoko, cara ini untuk mencegah benturan fisik langsung antara pekerja media dengan mereka yang merasa dirugikan. Namun SIUPP dan budaya “sensor” telpon itu mendapat kritikan keras dari aktifis penggiat demokrasi. Dianggap sebagai “senjata” pencabut nyawa surat kabar yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.
Saya punya pengalaman yang menarik dengan Harmoko. Koran saya berkali-kali kena tegur keras pejabat Deppen karena dianggap “offside”. Hasil rapat petinggi Deppen memutuskan SIUPP tidak akan diberikan kepada koran saya. Padahal persyaratan administrasinya sudah dipenuhi. Anehnya, toh masih dibiarkan terbit. Ternyata Harmokolah yang “membela” supaya tidak langsung dieksekusi. Kepada petinggi Deppen dalam sidang “pengadilan” media (menurut saya kebanyakan pejabatnya adalah aparat intelijen) Harmoko berargumentasi : perlu dibina dulu 6 bulan. Alasannya, karena pemimpin redaksinya masih muda, oplahnya tidak banyak, beritanya tidak akan ada pengaruh di publik. Akhirnya diputuskan, sementara diberikan semacam “amnesti“ dengan masa “pembinaan” selama 6 bulan. Untuk memberi kesempatan supaya bisa insyaf!
Seingat saya, “amnesti” per 6 bulan itu malah sempat diberikan dua atau tiga kali. Namun seiring jalannya waktu, sampai lengsernya Soeharto pada bulan Mei 1998 itu, eksekusi atas koran saya tidak pernah dilaksanakan. Menjadilah Barata Minggu koran yang terbit terus meskipun SIUPP tidak pernah diberikan sampai berakhirnya rezim SIUPP pemerintah Orde Baru di tangan pemerintahan reformasi. Inilah, bagi saya pribadi, jasa besar Harmoko yang saya tidak bisa lupakan. Bagi saya Harmoko seorang yang berjiwa pemimpin dan humanis.
Terakhir, tanpa sengaja saya bertemu Harmoko kalau tidak salah ingat pada tahun 2013 di Makassar dalam acara ulang tahun Harian Fajar. Terjadi “reuni”an bersama senior – senior, seperti bung Rahman Arge (almarhum – meninggal Agustus 2015 dalam usia 80 tahun) dan Bung Ramiz Parenrengi (almarhum- meninggal Juni 2015 dalam usia 77 tahun). Juga hadir tentunya bung Alwi Hamu selaku pemimpin Harian Fajar. Harmoko datang memakai kursi roda, digandeng seorang pendamping. Kesehatannya memang terlihat terganggu. Namun, kami – kami masih bisa dikenalnya. Meskipun dengan susah payah. Masih bisa bercanda dengan humor – humor dalam bahasa Makassar. Yang masih diingatnya.
Selamat jalan Bung Harmoko. Selamat beristirahat di tempat yang tenang. Semoga engkau mendapat tempat yang layak dan seindah – indahnya disisiNya. Kepada keluarga yang ditinggalkan semoga diberi ketabahan olehNya. Amin Yra. Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun.