KabarIndonesia.Id — Koalisi Masyarakat Sipil menilai petikan Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo di DPR RI pada 16 Agustus 2022 sebagai bentuk klaim yang keliru dan bertolak belakang dengan realita kondisi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia.
Setelah hampir delapan tahun era pemerintahan Presiden Jokowi, kondisi penyelesaian beban Bangsa Indonesia ini justru mengalami kemunduran.
Belum dituntaskannya pelanggaran HAM berat, pilihan mengangkat para penjahat HAM menjadi pejabat, hingga kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai ketentuan hukum dan berperspektif terhadap korban dan publik bisa kita jadikan bukti-bukti yang mengingkari janji Presiden Jokowi sendiri.
Kemunduran ini juga membuktikan bahwa dirinya memang tidak memiliki political will (kehendak politik) untuk menuntaskan Pelanggaran HAM Berat masa lalu.
Pernyataan “menjadi perhatian serius” dalam pidato tersebut dapat kita nilai sebagai kepura-puraan Presiden semata. Karena dalam banyak kesempatan, pemerintahan yang dipimpin oleh dirinya justru menunjukkan ketidakseriusan.
Hanya ada 1 Pengadilan HAM yang baru akan digelar sejak Presiden menjabat di tahun 2014. Dari proses Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai 2014 pun, kontroversi seperti hanya ada satu terdakwa, penentuan lokasi pengadilan di Makassar dan bukan di Papua serta minimnya pelibatan korban menjadi catatan buruk.
Pengadilan HAM yang akan segera berlangsung diprediksi gagal menghadirkan keadilan bagi publik dan mengulang tiga proses sebelumnya yang tidak menghukum satu pun pelaku.
Tentu kita juga masih ingat bagaimana Jaksa Agung yang Presiden pilih yakni S.T. Burhanudin malah melawan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II di Pengadilan Tata Usaha Negara padahal telah keliru menyatakan bahwa kasus tersebut bukanlah pelanggaran HAM berat.
Kemudian, pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai proses pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi perlu ditelisik lebih jauh. Sejauh ini prosesnya tidak melibatkan partisipasi publik utamanya para penyintas dan keluarga korban.
Tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai korelasi antara fungsi KKR dan peranannya dalam proses hukum di Pengadilan HAM. Pengalaman dibatalkannya UU 27/2004 tentang KKR oleh Mahkamah Konstitusi tidak juga membuat pembahasan mengenai bentuk KKR yang sesuai dengan ketentuan hukum dan HAM secara internasional untuk kepentingan korban dan publik tak membuat prosesnya bisa diakses oleh publik.
Perihal Keppres Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu juga melahirkan sejumlah polemik yang berpotensi membuat impunitas semakin menguat di Indonesia. Dimulai dengan proses yang tertutup hingga dokumen yang tidak kunjung dapat diakses hingga rilis ini terbit, menghadirkan tanda tanya soal latar belakang, motif dan komposisi individu yang dipilih Presiden untuk mengisi tim ini.
Kami melihat upaya untuk memisahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu berbasis metode yudisial dan non-yudisial hanya sebagai kamuflase dari lemahnya Negara untuk menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan dan luar biasa di Indonesia ini.
Kami belum melihat rujukan regulasi atau standar norma pengaturan yang Presiden dan jajarannya pilih dalam menyusun regulasi ini. Mengingat bahwa tidak ada dikotomi terminologi yudisial dan non-yudisial di dua regulasi utama soal penanganan pelanggaran HAM berat yakni UU 39/1999 tentang HAM dan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Keppres tersebut secara tegas memperlihatkan bahwa Pemerintah mengutamakan mekanisme non-yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu, dijadikan jalan pintas untuk seolah dianggap sudah menuntaskan pelanggaran HAM berat.
Padahal ini hanya cara yang dipilih Pemerintah melayani para pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme yudisial. Ini tidak dapat dipungkiri terjadi akibat adanya konflik kepentingan di dalam tubuh pemerintahan hari ini. Perihal efektivitas yang didasari oleh tugas dan fungsi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ini juga patut dipertanyakan.
Keluaran yang diharapkan muncul seperti analisis pelanggaran HAM hingga pemulihan sejatinya sudah diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Jika regulasi dan kelembagaan di level UU saja tidak berhasil karena tidak difungsikan secara maksimal, apalagi oleh tim yang dibentuk tanpa partisipasi publik yang memadai ini.
Gagasan mengenai tim yang dibuat seolah menunjukkan kepedulian Pemerintah terhadap korban padahal ingin mengaburkan penuntasan pelanggaran HAM berat ini bukanlah ide pertama Presiden Joko Widodo dan jajaran.
Tercatat setidaknya ada inisiatif seperti Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran di 2015, Dewan Kerukunan Nasional di 2016 hingga Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di 2018.
Wacana seperti Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB) juga menguap layaknya konsep-konsep sebelumnya karena memang dibuat dengan intensi memutihkan kesalahan para pelaku bukan untuk memulihkan para korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Oleh sebab itu, kami mendesak untuk :
1. Presiden RI Membatalkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
2. Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melakukan penyidikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia segera merekomendasikan dan/atau mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad-hoc atas Peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu
4. Pemerintah dan DPR RI membahas RUU KKR dan membuka seluas-luasnya partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation) khususnya penyintas dan keluarga korban Pelanggaran HAM Berat sesuai dengan mandat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No.006/PUU-IV/2006.