KabarIndonesia.id — Harga minyak mentah mengalami lonjakan signifikan pada Senin, 18 November 2024, dengan minyak Brent naik lebih dari USD2 per barel. Kenaikan ini didorong oleh dua faktor utama: penghentian produksi di ladang minyak Johan Sverdrup di Norwegia, dan eskalasi ketegangan geopolitik terkait perang Rusia-Ukraina. Berita tersebut memperkuat tren kenaikan harga minyak yang sebelumnya sudah terlihat, mencerminkan ketidakpastian yang terus menghinggapi pasar energi global.
Pada penutupan perdagangan, kontrak berjangka minyak mentah Brent tercatat naik USD2,26 atau 3,2 persen, menjadi USD73,30 per barel. Begitu pula dengan kontrak berjangka minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat yang naik USD2,14 atau 3,2 persen, berakhir pada USD69,16 per barel.
Salah satu faktor yang mendukung lonjakan harga minyak adalah penghentian produksi di ladang minyak Johan Sverdrup, yang merupakan salah satu ladang minyak terbesar di Eropa Barat dan dikelola oleh perusahaan energi Norwegia, Equinor. Penghentian ini disebabkan oleh gangguan pemadaman listrik yang terjadi di fasilitas darat yang mendukung operasional ladang tersebut.
Equinor mengonfirmasi bahwa pihaknya sedang berupaya untuk memulihkan produksi, namun belum ada kepastian kapan operasi akan kembali normal. Giovanni Staunovo, analis UBS, menjelaskan bahwa penghentian produksi di Johan Sverdrup berpotensi memperketat pasokan minyak di Laut Utara, yang merupakan salah satu wilayah penghasil utama minyak yang menjadi dasar penetapan harga Brent. Dampaknya, berita ini langsung memengaruhi pergerakan pasar dan menyebabkan lonjakan harga.
Selain masalah di Norwegia, produksi minyak di ladang Tengiz, Kazakhstan, yang dioperasikan oleh Chevron, juga mengalami penurunan signifikan, yakni sekitar 28 hingga 30 persen. Hal ini disebabkan oleh perbaikan yang tengah berlangsung di fasilitas pengolahan. Meskipun perbaikan ini diperkirakan selesai pada akhir pekan, gangguan ini semakin memperburuk tekanan terhadap pasokan minyak global yang sudah mengalami ketegangan.
Faktor kedua yang mendongkrak harga minyak adalah ketegangan geopolitik yang meningkat terkait dengan perang Rusia-Ukraina. Pada akhir pekan, pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden memberikan izin bagi Ukraina untuk menggunakan senjata buatan AS untuk menyerang wilayah Rusia, yang dianggap langkah kontroversial oleh Kremlin. Rusia menyebut langkah ini sebagai tindakan yang sangat berisiko, yang dapat memperburuk hubungan dengan negara-negara anggota NATO.
Tony Sycamore, analis pasar dari IG, menilai bahwa keputusan tersebut dapat memperburuk ketegangan geopolitik yang pada gilirannya akan meningkatkan harga minyak lebih lanjut. Jika ketegangan ini terus meningkat, harga minyak bisa terdorong lebih tinggi, terutama jika infrastruktur energi Rusia menjadi target serangan.
Pada Minggu, 17 November, Rusia melancarkan serangan udara terbesar dalam tiga bulan terakhir, yang merusak sistem kelistrikan Ukraina secara signifikan. Meski demikian, hingga saat ini ekspor minyak Rusia belum banyak terpengaruh oleh serangan-serangan tersebut. Meskipun demikian, ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perang ini turut memberikan dorongan pada harga minyak.
Kenaikan harga minyak pada Senin ini muncul setelah harga minyak sempat anjlok lebih dari 2 persen pada Jumat, 15 November 2024. Penurunan harga tersebut dipicu oleh sejumlah faktor, termasuk kekhawatiran tentang lemahnya permintaan minyak dari China, serta laporan Badan Energi Internasional (IEA) yang memperkirakan bahwa pasokan minyak global akan melebihi permintaan lebih dari 1 juta barel per hari pada 2025, bahkan jika pemotongan produksi OPEC+ tetap berlanjut.
Data dari Biro Statistik Nasional China menunjukkan bahwa pada Oktober 2024, kilang minyak di China mengolah 4,6 persen lebih sedikit minyak dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh penutupan sejumlah kilang minyak dan pengurangan operasional kilang-kilang kecil independen. Selain itu, sektor industri China mengalami perlambatan, sementara masalah di sektor properti negara itu masih belum terpecahkan, yang mengarah pada kekhawatiran tentang prospek ekonomi China yang lebih lemah.
John Kilduff, mitra di Again Capital, New York, menyatakan bahwa kekhawatiran tentang permintaan minyak dari China terus menjadi faktor tekanan yang signifikan. Dia menambahkan bahwa kebijakan tarif baru yang akan diterapkan oleh Presiden AS terpilih Donald Trump juga dapat memperburuk dampak terhadap ekonomi China, yang merupakan pengimpor minyak terbesar dunia.
Meskipun mengalami penurunan pekan lalu, pasar minyak mulai menunjukkan tanda-tanda optimisme pada awal pekan ini. Perubahan struktur pasar yang terlihat pada kontrak berjangka WTI juga menjadi indikasi bahwa pasar mengharapkan kenaikan harga minyak lebih lanjut. Untuk pertama kalinya sejak Februari, spread antara kontrak berjangka bulan Desember dan Januari menunjukkan perubahan ke dalam struktur contango, di mana harga kontrak bulan depan lebih tinggi dibandingkan kontrak bulan berjalan. Hal ini mencerminkan ekspektasi pasar bahwa harga minyak akan terus naik dalam waktu dekat.
Bob Yawger, Direktur Perdagangan Energi Berjangka di Mizuho, memperkirakan bahwa berakhirnya kontrak bulan Desember akan terjadi dengan sangat dinamis. Sementara itu, beberapa lembaga riset, termasuk Goldman Sachs, mulai menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global, yang kemungkinan akan memberikan dampak besar bagi arah harga minyak ke depan.
Di tengah ketegangan geopolitik dan tantangan pasokan, pergerakan harga minyak akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana faktor-faktor ini berkembang. Investor dan pelaku pasar energi akan terus memantau perkembangan di pasar global, yang dapat mempengaruhi keputusan dan strategi trading mereka di masa depan.
(Sumber: kabarbursa.com)