KabarIndonesia.id — Setelah sempat mangkir dan menolak ditahan sejak September 2022 lalu pasca ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi APBD Provinsi Papua, Gubernur Papua, Lukas Enembe akhirnya dijemput pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa, (10/01).
Dilansir dari Antara, Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan, Lukas Enembe diamankan di sebuah rumah makan di Papua.
"Informasi yang kami peroleh memang betul ditangkap di sebuah rumah makan, memang ada pihak laintetapi tentu kepentingan KPK adalah menangkap tersangka," terangnya.
Ali Fikri mengungkapkan, sebelum penangkapan dilakukan, KPK telah memantau keberadaan Lukas Enembe beberapa hari sebelumnya.
"Tim juga bergerak ke lapangan beberapa hari yang lalu dan analisis kami hari ini (10/01) memang harus dilakukan penangkapan," terangnya.
Dilansir dari berbagai sumber, Lukas Enembe saat tiba di Jakarta dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto untuk menjalani pemeriksaan kesehatan.
Pemeriksaan terhadap Lukas Enembe diagendakan akan dilakukan Rabu, 11 Januari 2023 hari ini.
"Kami agendakan besok siang (Rabu, 11/01). Jadi, statusnya masih orang yang ditangkap dalam 1 x 24 jam baru kemudian besok siang kami akan sampaikan perkembangannya," terangnya.
Dilansir dari berbagai sumber, saat penangkapan dilakukan, sempat terjadi kerusukhan. Pasalnya beberapa pendukung Lukas Enembe mendatangi Bandara Sentani dengan membawa senjata tajam.
Sekelompok massa ini berupaya mencegah Lukas Enembe dibawa ke Jakarta. Dilaporkan satu orang tewas pada kerusuhan ini karena terkena peluru aparat.
Sebelumnya, KPK menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi grativikasi proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua pada September 2022 lalu.
KPK berkali-kali melakukan pemanggilan kepada Lukas Enembe namun terus mangkir.
Hingga pada 3 November 2022 lalu penyidik KPK menemui langsung Lukas di kediamannya di Kota Jayapura, Papua, dengan ditemani sejumlah dokter untuk melakukan pemeriksaan.
Tersangka Lukas Enembe sebagai penerima grativikasi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001