KabarIndonesia.Id — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga meminta kepada masyarakat untuk melaporkan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.
“Tidak harus korban saja yang melaporkan. Ketika melihat dan mendengar Tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak laporkan ke SAPA 129,” pungkasnya dalam Podkabs yang diunggah di kanal YouTube dan Spotify Sekretariat Kabinet (Setkab), Kamis (12/5).
Menurutnya, layanan SAPA 129 dapat diakses melalui hotline 021-129 atau whatsapp 08111-129-129. SAPA129 memiliki enam jenis layanan, yakni layanan pengaduan masyarakat, pelayanan penjangkauan korban, pelayanan pengelolaan kasus, pelayanan akses penampungan sementara, pelayanan mediasi, pelayanan pendampingan korban.
Selain melalui telepon dan whatsapp, Kementerian PPPA juga menerima laporan tindak kekerasan melalui media lain seperti forum online, Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) Lapor, surat, hingga pengaduan langsung.
Tidak hanya itu, ia menjelaskan layanan ini merupakan bentuk pelaksanaan fungsi implementatif Kementerian PPPA yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020 yakni penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional.
“Kami mendapatkan tambahan tusi (tugas dan fungsi) implementatif terkait dengan layanan rujukan akhir, demikian juga layanan tingkat nasional maupun internasional penanganannya. Kemudian respons kami di kementerian ini kita membuat SAPA 129,” bebernya.
Menurutnya, Kementerian PPPA juga menyalurkan Dana Alokasi Khusus (DAK) di 34 Provinsi dan 216 kabupaten/kota untuk pelaksanaan program nonfisik pembangunan perempuan dan anak.
“Tahun 2021 itu kurang lebih Rp101,7 miliar dan (tahun) 2022 ini Rp120 miliar, yaitu adalah untuk pendampingan kasus-kasus kekerasan,” ujarnya.
Ia menekankan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan fenomena gunung es di mana banyak kasus yang tidak terlaporkan.
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021, kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan usia 15-64 tahun oleh pasangan dan selain pasangan, prevalensinya menurun 7,3 persen dalam kurun waktu 5 tahun. Namun, masih terjadi peningkatan prevalensi kekerasan seksual dalam setahun terakhir dari 4,7 persen pada tahun 2016 menjadi 5,2 persen pada tahun 2021.
Sedangkan, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 menunjukkan bahwa prevalensi anak usia 13-17 tahun yang pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya menurun sebesar 21,7 persen bagi anak perempuan, dan 28,31 persen bagi anak laki-laki dalam kurun waktu tiga tahun. Kekerasan masih lebih banyak dialami oleh anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.
“Secara prevalensi sebenarnya kekerasan itu adalah menurun. Tapi yang meningkat satu tahun ini adalah kekerasan seksual yang dilakukan selain pasangan,” ucapnya.
Pemerintah, kata Bintang, bekerja keras mengawal Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) hingga akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang (UU) oleh DPR RI dalam sidang paripurna pada tanggal 12 April lalu. UU ini diharapkan akan implementatif dan memberikan manfaat, khususnya bagi korban kekerasan seksual.
“Di tahun 2022 ini, kita mengawal terkait dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS),” tegasnya.
Mengutip dari laman Kementerian PPPA beberapa terobosan yang terdapat dalam RUU TPKS, antara lain:
1. Pengualifikasian jenis tindak pidana seksual, beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
2. Pengaturan hukum acara yang komprehensif, mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi
3. Pengakuan dan jaminan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan, sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual, yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban
4. Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.
Perhatian yang besar terhadap penderitaan korban juga diwujudkan dalam bentuk pemberian restitusi.
Restitusi diberikan oleh pelaku tindak pidana kekerasan seksual sebagai ganti kerugian bagi korban. Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, maka negara akan memberikan kompensasi kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan.