News  

OPINI: Tugas Jurnalis Merespon Otoritarianisme Digital

Oleh: Damar Juniarto

(Foto: Ist).

KabarIndonesia.id — Tugas jurnalis dan pemeriksa fakta merespon disinformasi menjadi lebih berat manakala regulasi bukannya memeringan kerja mereka, tetapi menjadi penghambat alur informasi yang bebas dan bersih dari disinformasi. Sudah saatnya, jurnalis dan pemeriksa fakta berkolaborasi mengantisipasi represi digital!

Di Abad Informasi ketika informasi mengalir tanpa henti melalui saluran digital, momok otoritarianisme digital semakin membesar. Masih segar dalam ingatan bagaimana penutupan akses internet di Provinsi Papua dan Papua Barat pada 2019 memerlihatkan kekuasaan yang dimiliki pemerintah di dunia digital memungkinkan lebih dari 2,9 juta pengguna Internet terkena dampak langsung pemutusan Internet.

Keputusan pemerintah Indonesia untuk memutus akses internet di Papua Barat pada tahun 2019 alih-alih bertujuan untuk menyetop penyebaran disinformasi dan memadamkan kekerasan, namun malahan membawa dampak buruk yang signifikan pada perekonomian, sektor bisnis, jurnalisme, upaya pengecekan fakta, dan pelayanan publik penting seperti layanan kesehatan. Selama pemadaman Internet, kerja penting para pemeriksa fakta dan jurnalis terhambat, sehingga masyarakat malah rentan terhadap disinformasi dan manipulasi informasi.

Para pemeriksa fakta dan jurnalis di Indonesia perlu diingatkan bahwa selama peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Pasal 40 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan pemerintah kewenangan luas untuk menghentikan akses terhadap informasi elektronik yang dianggap ilegal, hal yang pernah terjadi di 2019 bisa terulang kembali. Demikian pula, mereka harus sadar bahwa Pasal 9 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5/2020 memberikan wewenang kepada pihak berwenang untuk melakukan sensor terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban umum, dan platform digital harus mematuhinya bila tidak ingin terkena sanksi administratif yang dapat berujung pada pemutusan akses.

Malahan kini ada tantangan baru, dengan akan berlakunya undang-undang baru seperti Pasal A.263 KUHP dan Pasal 28 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik, kontrol pemerintah atas informasi akan semakin ketat. Undang-undang ini dapat mengkriminalisasi penyebaran informasi yang dianggap palsu, dengan hukuman berat bagi pelanggarnya. Tindakan-tindakan seperti ini tidak hanya menghambat kebebasan berekspresi namun juga menimbulkan iklim ketakutan dan swasensor, yang berimbas pada kebebasan pers dan independensi jurnalis dan media.

Dalam menghadapi meningkatnya otoritarianisme digital, langkah-langkah proaktif sangatlah penting dilakukan. Komunitas jurnalis dan pegiat pemeriksa fakta perlu melakukan sejumlah tindakan terukur sebagai berikut ini:

  • Berkolaborasi dengan pers dan media menjadi hal yang sangat penting, untuk memberikan payung perlindungan berdasarkan Undang-Undang Pers,
  • Memupuk solidaritas untuk menghadapi sensor online,
  • Terlibat dalam kerja advokasi kebijakan juga penting, dengan membentuk peraturan yang menyeimbangkan masalah keamanan dengan hak-hak dasar atas kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi,
  • Ikut mendorong pembentukan Dewan Media Sosial merupakan langkah menjanjikan dalam menjaga kebebasan digital. Dengan mendorong transparansi, akuntabilitas, dan pemberdayaan pengguna, inisiatif-inisiatif tersebut menawarkan penyeimbang terhadap pelanggaran kontrol otoriter,
  • Mendukung upaya koalisi yang bertujuan untuk mencabut atau mengubah undang-undang yang represif juga penting untuk melawan gelombang otoritarianisme digital.

Namun, menghadapi lanskap yang kompleks ini memerlukan kewaspadaan dan tindakan bersama. Perjuangan melawan otoritarianisme digital adalah upaya kolektif, yang memerlukan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat sipil termasuk pemeriksa fakta dan jurnalis, perusahaan teknologi, dan warga negara. Dengan meningkatkan kesadaran, mendukung peraturan yang bertanggung jawab, dan membela kebebasan digital, kita dapat membendung gelombang penindasan dan menjaga pertukaran ide secara terbuka di era digital. Taruhannya besar, namun hal yang penting sudah jelas: dalam menghadapi otoritarianisme yang melanggar batas, kita harus berdiri teguh dalam membela kebebasan digital kita.