News  

Pemberhentian Pegawai adalah Gejala Regresi Demokrasi dan Penumpulan KPK

KabarIndonesia.ID

KabarIndonesia.id — Public Virtue Research Institute (PVRI) menyesalkan belum dibatalkannya keputusan pimpinan KPK yang memberhentikan 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meskipun sudah sebulan lebih. Presiden Joko Widodo kembali didesak membatalkan pemberhentian tersebut. Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga didesak agar membuka dokumen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dijadikan dalih menyingkirkan 51 pegawai KPK. 

Deputi Direktur PVRI, Anita Wahid ketika membawakan acara dwimingguan PVRI bernama Weekend Talk menyampaikan pemberhentian pegawai KPK ini sangat melukai demokrasi dan menumpulkan institusi pemberantasan korupsi di indonesia akibatnya kontrol di daerah semakin sulit saat ini

“Pemberhentian pegawai KPK merupakan gejala regresi demokrasi yang menumpulkan institusi dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Akibatnya, kekuasaan pusat maupundaerah semakin sulit dikontrol" kata Anita Wahid Minggu (20/06)

"Kami mendesak Presiden Jokowi untuk membatalkan keputusan tersebut” sambungnya 

Di saat bersamaan, peneliti PVRI Naufal Rofi menyesalkan sikap diam kepolisian terhadap serangan-serangan teror terhadap pegawai KPK dan aktivis anti korupsi. 

“PVRI mencatat, sejak 2015 sampai 2019, terdapat delapan kasus kekerasan dan ancaman yang dialami pegawai KPK,mulai dari ancaman pembunuhan, penangkapan, pencurian peralatan penyidik, ancaman bom, serangan fisik, sampai percobaan penculikan. Baru-baru ini, ancaman terjadi melaluiperetasan hingga doxing,” kata Naufal.

“Kami juga mendesak BKN agar membuka dokumen TWK. Presiden harus memastikan bahwa tidak ada pelanggaran hak-hak pegawai KPK dalam proses TWK. Presiden wajib  menginstruksikan jajaran kepolisian agar mengusut segalabentuk teror dan ancaman kepada para pegawai KPK, baiksaat mengusut korupsi maupun saat mempertanyakankeputusan pimpinan KPK. Perlu ada pula perlindungan hukum dan jaminan keamanan,” lanjut Anita.  

Anita merujuk kajian akademisi dari University of Sydney Thomas Power yang mengemukakan bahwa pelemahan KPK tak hanya dilakukan lewat metode kekerasan saja. Cara lainnya meliputi penempatan elite politik di luar jangkauan KPK, delegitimasi diskursif berupa labelisasi “taliban” terhadap penyidik-penyidiknya, pengangkatan perwira aktif polisi menjadi pimpinan KPK, dan pelemahan struktural serta agensial.

Yang terbaru, 51 pegawai KPK diberhentikan akibat tak lolos Tes Wawasan Kebangasaan (TWK) saat proses alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tiga lembagainternasional seperti Transparency International, Greenpeace, dan Amnesty International menyurati Presiden karena menilaipemberhentian ini tidak memiliki dasar hukum, menyalahi asas-asas good governance, dan merupakan diskriminasi sistematis, dan melanggar hak-hak asasi khususnya hak parapekerja.

Pemecatan ini adalah episode baru dari rangkaian pelemahan KPK, terutama saat korupsi marak terjadi di berbagai sektor dan daerah. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia kini berada di peringkat 102 dari 180, turun drastis dari peringkat 85 pada tahun 2019 (Transparency International, 2020). Korupsi masih menjadi sesuatu yang “mewabah” di badan legislatif nasional dan lokal, pelayanan sipil, peradilan, dan kepolisian. Ini adalah tantangan berat bagi kehidupan demokrasi Indonesia(Freedom House, 2020).

(rls)