KabarIndonesia.id — Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 telah menjadi topik pembahasan hangat. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, di tengah tantangan ekonomi global, kebijakan ini memunculkan berbagai pro dan kontra, terutama terkait dampaknya terhadap masyarakat dan dunia usaha.
PPN, sebagai salah satu instrumen fiskal utama, dikenakan pada konsumsi barang dan jasa di dalam negeri. Pajak ini dibebankan kepada konsumen akhir, sementara produsen atau penjual bertindak sebagai pemungut pajak. Berdasarkan UU HPP, kenaikan tarif PPN bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada utang sekaligus menyelaraskan tarif Indonesia dengan standar internasional.
Pada 1 April 2022, tarif PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen. Langkah berikutnya adalah menaikkan tarif menjadi 12 persen pada awal 2025. Pemerintah menilai bahwa kenaikan ini diperlukan untuk mendukung pembiayaan pembangunan, terutama di bidang infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Namun, kenaikan tarif ini tidak terlepas dari risiko. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, berpotensi mengalami penurunan. Penurunan konsumsi dapat berdampak pada perlambatan ekonomi, terutama jika daya beli masyarakat tidak diperkuat.
Penelitian dari Sigmaphi Policy Research & Data Analysis mengungkap bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dapat menyebabkan PDB nominal turun sebesar 0,8 persen. Selain itu, jumlah penduduk miskin diproyeksikan bertambah hingga 267.279 jiwa. Penemuan ini menunjukkan adanya risiko distorsi sosial-ekonomi jika kenaikan tarif tidak disertai langkah mitigasi yang efektif.
Di sisi lain, potensi penerimaan PPN yang belum terealisasi oleh pemerintah diperkirakan mencapai Rp405,5 hingga Rp529,4 triliun per tahun. Angka ini mencerminkan peluang besar yang dapat dimanfaatkan jika sistem administrasi perpajakan diperbaiki.
Meski begitu, pemerintah telah mengantisipasi beberapa dampak dengan tetap mengecualikan kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan pendidikan dari pengenaan PPN. Langkah ini bertujuan untuk melindungi kelompok rentan dan memastikan akses terhadap kebutuhan dasar tetap terjaga.
Selain itu, kebijakan ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki sistem perpajakan secara menyeluruh. Salah satu langkah penting adalah memperkuat skema restitusi PPN bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Restitusi yang cepat dan transparan dapat mengurangi beban pelaku UMKM sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak.
Digitalisasi sistem perpajakan juga dapat menjadi solusi untuk mempercepat proses administrasi dan meningkatkan efisiensi. Dengan memanfaatkan teknologi, pemerintah dapat menciptakan sistem yang lebih inklusif dan adil bagi seluruh pelaku ekonomi.
Namun, kenaikan PPN juga menghadirkan tantangan dalam mengatasi sifat regresifnya. Pajak ini dikenakan secara proporsional tanpa mempertimbangkan tingkat pendapatan konsumen. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah cenderung lebih merasakan dampaknya dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dapat memperluas daftar barang dan jasa yang dikenakan tarif rendah atau dibebaskan dari PPN. Misalnya, barang kebutuhan pokok tambahan atau layanan publik tertentu dapat dilindungi dengan skema tarif khusus.
Selain itu, pemerintah perlu memanfaatkan penerimaan tambahan dari kenaikan PPN untuk mendorong transformasi ekonomi. Salah satu cara adalah mengalokasikan dana tersebut ke sektor strategis seperti infrastruktur digital dan pengembangan startup teknologi.
Program seperti “PPN untuk Inovasi” dapat menjadi terobosan, di mana sebagian penerimaan pajak digunakan untuk mendanai startup agritech dan fintech lokal. Langkah ini dapat menciptakan efek pengganda ekonomi, membuka lapangan kerja baru, dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional.
Peningkatan penerimaan negara juga dapat digunakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di wilayah tertinggal. Dengan akses yang lebih baik terhadap infrastruktur, daerah terpencil dapat terintegrasi dengan perekonomian nasional, sehingga mendukung pemerataan pembangunan.
Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada transparansi pemerintah dalam mengelola dana hasil kenaikan tarif PPN. Komunikasi yang efektif kepada masyarakat menjadi kunci utama untuk meningkatkan kepercayaan publik.
Masyarakat perlu mendapatkan kepastian bahwa dana tambahan benar-benar dialokasikan untuk peningkatan layanan publik. Misalnya, pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur harus menjadi prioritas utama.
Selain itu, reformasi administrasi perpajakan harus terus didorong. Dengan memanfaatkan teknologi big data dan kecerdasan buatan (AI), otoritas perpajakan dapat menciptakan sistem pemantauan yang lebih akurat dan efisien.
Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan penerimaan pajak, tetapi juga menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih sehat. Pelaku ekonomi informal, yang selama ini sulit terjangkau, dapat lebih diintegrasikan ke dalam sistem perpajakan.
Pada akhirnya, keberhasilan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola transisi ini. Jika dilakukan dengan langkah mitigasi yang tepat, kebijakan ini dapat menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Kenaikan tarif PPN bukan sekadar upaya menambah pendapatan negara. Kebijakan ini adalah peluang untuk menciptakan transformasi ekonomi yang mampu mengatasi kesenjangan sosial dan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global. Dengan strategi yang tepat, langkah ini dapat membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih kuat, adil, dan tangguh.
(Sumber: kabarjawa.com)