KabarIndonesia.id — Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pernyataan resmi terkait hasil Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) yang diketuai oleh Menkopolhukam, M. Mahfud MD, Rabu, (11/01).
Dalam pernyataan tersebut, Presiden Jokowi mengakui telah terjadi pelanggaran HAM berat pada berbagai peristiwa serta menyesali kejadian tersebut.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat memang terjadi di berbagi peristiwa, dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelaggaran Hak Asasi Manusia yang berat," terangnya.
Jokowi berjanji pemerintah akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana.
"Saya menaruh simpati yang mendalam kepada korban dan keluarga korban. Oleh karena itu, saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial," terangnya.
Ia menegaskan, pemerintah akan berupaya tidak ada kejadian serupa di masa mendatang.
"Saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan mendatang," tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Amnesty Internasional Indonesia menyebutkan, pengakuan Presiden Jokowi tidak ada artinya tanpa adanya pertanggungjawaban hukum.
"Menurut pendapat kami, pengakuan Presiden atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum," Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam keterangan resminya.
Ia mengatakan, meski Amnesty International Indonesia menghargai sikap Presiden Joko Widodo dalam mengakui terjadinya pelanggaran HAM sejak tahun 1960-an di Indonesia, pernyataan ini sudah lama tertunda mengingat penderitaan para korban yang dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan selama beberapa dekade.
“Namun, pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya. Sederhananya, pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas,” terangnya.
Ia menyebutkan, pemerintah hanya memilih 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat, sementara secara nyata masih ada berbagai pelanggaran HAM berat lainnya yang tidak diakui.
“Pemerintah hanya memilih 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat, sementara secara nyata mengabaikan kengerian kejahatan yang sudah terkenal lainnya, seperti pelanggaran yang dilakukan selama operasi militer di Timor Timur, tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, atau kasus pembunuhan Munir 2004,” jelasnya.
Amnesty International Indonesia menilai, penyelidikan dan penyidikan beberapa kasus besar tersebut dilakukan setengah hati.
“Kelalaian ini merupakan penghinaan bagi banyak korban. Pemerintah mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan setengah hati selama ini – termasuk dalam empat kasus yang tidak disebutkan detailnya dalam pernyataan hari ini – telah menyebabkan pembebasan semua terdakwa dalam persidangan pengadilan HAM terdahulu,” beber Usman Hamid.
Usman Hamid menyebutkan, jika Presiden Joko Widodo benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM berat, pihak berwenang harus melakukan penyelidikan secara menyeluruh dan tidak berpihak.
"Pihak berwenang Indonesia harus segera, efektif, menyeluruh, dan tidak memihak menyelidiki semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu di mana pun dan, jika ada cukup bukti yang dapat diterima, menuntut mereka dalam pengadilan yang adil di hadapan pengadilan pidana,” terangnya.
“Menkopolhukam Mahfud MD tidak bisa hanya mengatakan bahwa pengadilan HAM terdahulu membebaskan semua terdakwa hanya karena tidak cukup bukti. Sebab selama ini lembaga yang berwenang dan berada langsung di bawah wewenang Presiden, yaitu Jaksa Agung, justru tidak serius dalam mencari bukti melalui penyidikan,” sambungnya.
Amnesty Internasional Indoensia menegaskan, satu-satunya cara mengakhiri dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat di Indonesia yaitu dengan pelaku harus dihadapkan pada proses hukum.
“Kami mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa mengakhiri impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku adalah satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi manusia dan memberikan kebenaran dan keadilan sejati kepada para korban dan keluarganya. Pelaku harus dihadapkan pada proses hukum, jangan dibiarkan, apalagi sampai diberikan kedudukan dalam lembaga pemerintahan,” pungkasnya.