KabarIndonesia.id — Kasus stunting atau gagal tumbuh pada anak masih menjadi perhatian pemerintah di Indonesia.
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang diumumkan pada Rapat Kerja Nasional BKKBN awal tahun 2023 lalu, menunjukan prevalensi stunting di Indonesia tahun 2022 masih di angka 21,6%.
Angka tersebut masih tinggi berdasarkan kategori WHO yaitu di atas 20%.
Kondisi gagal tumbuh pada anak dipengaruhi oleh berbagai hal salah satunya adalah perilaku buruk orang tua seperti merokok.
Dilansir dari laman Kementerian Kesehatan, Dirjen Kesehatan Masyarakat, dr. Endang Sumiwi mengungkapkan, berdasarkan penelitian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial UI pada 2018, menunjukkan bahwa Balita yang tinggal dengan orang tua perokok tumbuh 1,5 kg lebih kurang dari anak-anak yang tinggal dengan orang tua bukan perokok.
Dalam penelitian tersebut juga disebutkan 5,5% Balita yang tinggal dengan orang tua perokok punya risiko lebih tinggi menjadi stunting.
"Kita tahu bahwa angka stunting kita masih tergolong tinggi menurut kategori WHO yaitu di atas 20%, sementara Indonesia masih 21%. Kalau Balita berpotensi terpapar rokok di rumahnya maka ini menjadi salah satu hambatan kita dalam menurunkan stunting,” ungkapnya.
Sejalan, Perwakilan dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Dr. Feni Fitriani Taufik menjelaskan, di RS Persahabatan pernah ada penelitian pada bayi. Ada tiga kelompok bayi yang dilahirkan yakni dari ibu yang tidak merokok, ibu yang jadi perokok pasif, dan ibu perokok aktif.
Hasilnya didapatkan bahwa pada plasenta bayi dengan ibu perokok aktif dan pasif itu sama-sama ditemukan nikotin. Kemudian dari waktu lahir pun panjang badan dan berat badan bayi jauh lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok.
“Jadi, pajanan rokok berpengaruh bukan saja setelah lahir, tapi di dalam kehamilan pun itu sudah sangat berpengaruh kepada bayi,” ungkap dr. Feni.
Ia melanjutkan, ada istilah secondhand smoke dan thirdhand smoke. Secondhand smoke adalah asap rokok yang dilepaskan oleh perokok kemudian dihirup oleh orang-orang di sekitarnya.
Sementara thirdhand smoke adalah sisa bahan kimia dari asap rokok. Umumnya tidak terlihat tapi berbahaya, bukan hanya asap tapi residu dari orang yang merokok yang menempel terutama di dalam rumah seperti gorden, karpet, dan sofa.
“Itu mengandung kimia berbahaya jika terhirup oleh orang-orang yang ada di rumah seperti anak-anak Balita,” tutur dr. Feni.
“Kalau berbicara stunting, secondhand smoke dan thirdhand smoke menyebabkan beban ekonomi keluarga akan berlipat. Sebab perkembangan anak terganggu,” tambahnya.
Sementara itu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dr. Maxi Rein Rondonuwu mengungkapkan, konsumsi rokok dan hasil tembakau mempunyai dampak terhadap sosial ekonomi dan Kesehatan.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasioanl (Susenas) 2021 menjelaskan pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk kebutuhan protein di keluarga.
“Berdasarkan data tersebut belanja rokok merupakan belanja terbesar kedua di keluarga dan tiga kali lebih tinggi daripada beli telur,” ucap Dirjen Maxi.
Rokok, tambah dr. Maxi, jadi persentase pengeluaran keluarga terbesar kedua sebanyak 11,9% baik di perkotaan maupun di pedesaan dibandingkan untuk mereka yang mengkonsumsi makanan bergizi seperti telur, daging, dan ayam.
Ketimbang membeli rokok untuk merusak kesehatan dirisendiri dan orang sekitar, Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat untuk mengalihkan anggaran rokok untuk membeli protein hewani seperti telur.