News  

Revisi UU Otsus, Pemerintah Dinilai Mengabaikan Aspirasi Orang Asli Papua

KabarIndonesia.ID

Kabarindonesia.id — Sejumlah pengabaian aspirasi orang asli Papua (OAP) dianggap sebagai bukti berkurangnya status kekhususan Papua. Walaupun pemerintah dan DPR sudah menyepakati UU No.2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua, aturan tersebut dinilai sebagai upaya resentralisasi kekuasaan politik dari Pemerintahan Papua ke Jakarta. Revisi kedua UU Otsus Papua ini menjadi sinyal buruk untuk demokratisasi di Indonesia khususnya di Papua.

 

Hal itu disampaikan oleh para narasumber dalam media briefing yang diselenggarakan Public Virtue Research Institute (PVRI). Dalam kegiatan tersebut, hadir sebagai pembicara yaitu Yoel Luiz Mulait selaku Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP), Minggus Madai dari pokja Masyarakat Adat MRP, Usman Hamid selaku Direktur Amnesty International Indonesia, dan Miya Irawati selaku Direktur Eksekutif PVRI.

 

Yoel Luiz Mulait menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah pusat yang dianggap abai terhadap aspirasi orang asli Papua. Menurutnya, proses politik yang semestinya ditempuh dalam perancangan undang-undang otonomi khusus adalah penciptaan ruang-ruang dialog dan pemberian ruang berpendapat bagi masyarakat. 

 

"MRP berusaha mengakomodir aspirasi politik orang asli Papua dengan menciptakan kantong-kantong aspirasi. Namun upaya tersebut justru menemui tindakan represif dari aparat penegak hukum" kata Yoel

 

Dirinya mencontohkan peristiwa di Wamena, Merauke, Sentani, Biak, dan Nabire dimana acara rapat dengar pendapat yang digelar MRP berusaha dihalang-halangi aparat keamanan. 

 

"Contohnya di Merauke, sejumlah anggota MRP ditangkap dan diborgol, tidak diperbolehkan meninggalkan bangunan hingga kami harus menyewa pesawat untuk memulangkan mereka,” ungkap Yoel.

 

Lebih lanjut Yoel juga meyebutkan, MRP juga mengekspresikan kekecewaannya bahwa dari 24 kewajiban yang diamanatkan oleh UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua kepada pemerintah, hanya 4 yang berhasil direalisasikan, yaitu pengangkatan kepala daerah Orang Asli Papua (OAP), pembentukan MRP, pelimpahan kewenangan legislatif kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan pemberian status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. 

 

“Amanat lainnya, termasuk pembentukan lembaga komisi kebenaran dan rekonsiliasi guna membina perdamaian pasca kekerasan di Papua, diingkari pula oleh negara,” jelasnya.

 

Senada dengan penyampaian Yoel, Usman Hamid meresonansi kekecewaan yang disampaikan oleh Yoel Luiz Mulait dan Minggus Madai, Usman memandang bahwa UU No. 2/2021 luput dari perspektif hak-hak OAP sebab tidak dirumuskan melalui partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat secara bermakna. 

 

“Dengan tidak melibatkan MRP dalam proses penyusunannya, negara dianggap tidak merekognisi kedudukan MRP sebagai representasi kultural OAP, sebagaimana diamanatkan pada UU No. 21/2001,” kata Usman.

 

Usman mendesak agar pemerintah menunda proses-proses pemekaran di provinsi Papua dan fokus untuk mendorong pembentukan pengadilan HAM, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, serta komnas HAM bagi Papua.

 

“Kami berharap bahwa proses pemekaran provinsi yang direncanakan atas Papua, setidaknya dapat ditunda sambil menunggu putusan MK agar kita dapat melihat apakah hak-hak kekhususan bagi Papua benar-benar dilindungi oleh negara,” tambahnya.

 

Selain itu perwakilan Pokja Masyarakat Adat MRP Minggus Madai menyoroti bagaimana negara tidak memberikan cukup ruang bagi evaluasi dan aspirasi masyarakat asli Papua terhadap UU tersebut. 

 

Menurut Minggus, situasi juga kian diperburuk dengan tawaran pemekaran provinsi Papua yang sulit diterima ketika syarat-syarat pembentukan provinsi baru, bahkan tidak bisa terpenuhi apabila rencana pemekaran tetap dijalankan.

 

“Infrastruktur dan pelayanan dasar di berbagai daerah di pelosok Papua belum memadai dan belum dapat menunjang kemandirian provinsi-provinsi baru. Ditambah lagi persoalan kesejahteraan masyarakat Papua yang terus terpinggirkan dengan kedok proyek-proyek pembangunan negara,” kata Minggus dalam kesempatan tersebut.

 

Sementara itu, Miya Irawati berpendapat jika rencana pemekaran wilayah yang ada di Papua justru menggambarkan upaya untuk pemenuhan kepentingan politik negara di Papua dalam perspektif yang Jakarta-sentris, dan pemisahan kekuatan politik masyarakat akar rumput. 

 

“Pendekatan negara di Papua yang selalu mengedepankan paradigma keamanan telah menguatkan potensi pemekaran wilayah ini yang kelak akan berimbas pada penambahan kekuatan baru dan berdampak pada distribusi pasukan keamanan yang semakin masif di pelosok Papua,” jelasnya.

 

Miya juga meminta negara agar situasi di Papua perlu benar-benar diperhatikan dengan mewajibkan pemerintah berdialog dengan masyarakat OAP dan mendengarkan suara OAP di setiap langkahnya.