KabarIndonesia.id — Panasnya pembahasan revisi UU Pemilu di DPR mendapat tanggapan dari Ketua Pusat Kajian kebijakan Pemerintahan dan pembangunan daerah Dr. H. Sindawa Tarang.
Bung ST panggilan akrab Sindawa Tarang menilai revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mendesak dan bukan kebutuhan perioritas masyarakat.
"Desain kepemiluan mestinya untuk jangka panjang, jangan sampai kemudian sedikit-sedikit berubah. Ini 'kan belum dilaksanakan, sudah diubah, jadi kesannya 'bongkar pasang'," kata Bung ST yang juga Ketua Umum DPP Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia.
Ia mengatakan hal itu terkait dengan revisi UU Pemilu, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.
Menurut dia, tidak ada sesuatu yang begitu mendesak untuk perubahan terhadap jadwal-jadwal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang masih berlaku saat ini. Tidak ada unsur kemendesakannya. "Itu malah yang saya pertanyakan, ada kepentingan apa?, Mestinya kepentingan-kepentingan siapa pun itu jangan kemudian merusak desain kepemiluan yang sudah dicanangkan untuk jangka panjang dengan undang-undang yang sudah ada," ujarnya.
Lanjut Bung ST, mengatakan harusnya keputusan politik berorientasi untuk kepentingan rakyat bangsa dan Negara bukan untuk memenuhi kebutuhan kelompok, partai dan pribadi saja kata pakar pemerintahan desa itu.
Seperti diwartakan, dalam draf RUU Pemilu Pasal 731 Ayat (1) disebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2015 dilaksanakan pada bulan Desember 2020.
Pasal 731 Ayat (2) menyebutkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022.
Pasal 731 Ayat (3) menyebutkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak untuk memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota hasil pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023.
Pada Pasal 734 Ayat (1) dijelaskan bahwa pemilu daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2017, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap 5 tahun sekali.
Selanjutnya, dalam Pasal 734 Ayat (2) disebutkan bahwa pemilu nasional pertama diselenggarakan pada tahun 2024, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap 5 tahun sekali.
Bung ST berharap agar pimpinan dan anggota DPR RI maupun pimpinan partai politik mempertimbangkan betul untung rugi apabila Pilkada mau dimajukan ke 2022, 2023 atau tetap 2024 dalam situasi pandemic covid 19. UU Pilkada masih berlaku dan belum terlaksana.
Menurut dia, akan mubazir mengubah aturan yang belum pernah dilaksanakan. Menanggapi akan terjadi kekosongan kepala daerah jika pilkada tetap digelar pada 2024.
Pasalnya, ada beberapa kepala daerah baik propinsi maupun Kabupaten/Kota yang masa jabatannya selesai sebelum itu. Misalnya DKI Jakarta. Anies Baswedan hanya akan menjabat hingga 2002 beitupula yang berakhir hingga 2023.
Menurut dia tidak ada masalah karena menteri dalam negeri bisa menunjuk PLT, penunjukan PLT terhadap pejabat yang kosong bukan hal baru bahkan banyak bupati menunjuk PLT sampai 5 tahunan bahkan lebih, misalnya PLT kepala Desa yang semestinya secara reguler diadakan pilkades setiap jabatan kades berakhir.
"Jadi saya kira soal PLT para bupati akan menerima dengan baik karena mereka juga senang melakukan hal yang sama dan berjalan baik-baik saja, tegas pakar pemerintahan desa itu. Sejauh ini penyelenggaraan pemilu yang dilakukan dengan undang-undang ini berjalan cukup baik," ujar Bung ST.
Bung ST mengatakan, kita menghormati usulan berbagai pihak yang ingin merevisi Undang-Undang . Namun, ia menilai, UU Pemilu yang ada saat ini masih sesuai dengan kondisi politik saat ini. Apalagi, ia mengatakan, proses dalam merevisi undang-undang memakan proses yang lama dan perlu menampung aspirasi dari banyak pihak.
"Termasuk kepentingan partai politik, pemerintah, pusat, dan daerah, penyelenggara pemilu, masyarakat, dan civil society. Padahal mengubah undang-undang yang ada, tidak ada jaminan akan lebih baik dari yang ada saat, yang seharusnya dilakukan DPR RI saat ini lebih mengedepankan bagaimana mendorong proses pemilu yang berkualitas, demokratis, dan berintegritas, oleh lembaga penyelenggaranya seperti KPU, BAWASLU dan DKPP," ujar Bung ST.
Menanggapi fraksi yang berisi keras menginginkan revisi uu pemilu Bung ST berharap agar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) tak direvisi.
"UU yang ada saat ini relatif masih sangat baru dan baru diterapkan secara formal dalam kurun waktu empat sampai lima tahun terakhir, UU pemilu masih baru, kok direvisi lagi emang nggak kerjaan lain yang lebih bermanpaat kepada rakyat khususnya dalam situasi sulit seperti ini, dalam situasi sulit saat ini lebih baik anggota DPR RI dan partai politik konsentrasi bersama pemerintah dalam pemulihan ekonomi dan penanganan covid 19 dan turun kemasyarakat untuk memberikan semangat kepada masyarakat di dapilnya masing-masing, ini lebih bermanpaat ketimbang meributkan soal kepentingan partai, kelompok bahkan pribadi yakni merevisi undang-undang pemilu/pilkada, untuk saat ini rakyat membutuhkan pemulihan ekonomi dan keluar dari ancaan pandemic covid 19, rakyat tidak membutuhkan revisi uu pemilu," tutup Bung ST.