KabarMakassar.com — Ada yang berbeda pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah atau dikenal Pilkada di Sulawesi Selatan dibanding pemilu kepala daerah sebelumnya.
Tahun ini, Pilkada dilaksanakan serentak di Sulawesi Selatan. Tepat di tanggal 27 Juni mendatang. Ada 13 pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung serentak di wilayah Sulawesi Selatan.
Kajiannya sederhana. Satu pemilihan umum kepala daerah (Pemilu Kada) di tingkat provinsi yakni Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel. Sebanyak tiga kali pemilihan Walikota dan Wakil Walikota di tingkat kota.
Selebihnya sebanyak 9 kali pemilihan umum dilaksanakan serentak di tingkat kabupaten yang akan memilih pejabat Bupati dan Wakil Bupati. Dari total pelaksanaan Pemilu Kada itu.
Beberapa wilayah yang melaksanakan pesta demokrasi itu. Banyak calon yang memilih maju melalui jalur perseorangan. Para kandidat yang memilih jalur independen atau perseorangan ini.
Jelas berbeda dengan pelaksanaan Pemilu Kada tahun-tahun sebelumnya. Mari kita mengkaji wilayah mana saja di Sulawesi Selatan yang memiliki peserta Pemilu Kada dari jalur perseorangan.
Dari total 13 kali pelaksanaan Pemilu Kada serentak pada 27 Juni mendatang. Sekitar 8 kali pemilu kepala daerah diantaranya memiliki kandidat yang memilih jalur independen.
Sedangkan selebihnya murni memakai kendaraan koalisi partai politik. Memasuki tahun politik ini. Proses demokrasi di Sulawesi Selatan telah menunjukkan progres yang cukup baik.
Kepercayaan diri kandidat di jalur perseorangan cukup besar. Para kandidat-kandidat itu telah memenuhi syarat ketentuan Pasal 49 ayat (10) dan Pasal 50 ayat (10) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015.
Kemudian Komisi Pemilihan Umum menerbitkan Peraturan KPU Nomor 9 tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Peraturan KPU ini memberikan peluang bagi calon perseorangan yang tidak didukung oleh partai politik untuk maju menjadi calon dalam Pemilihan Kepala Daerah dengan persyaratan jumlah dukungan penduduk di daerah calon tersebut.
Peraturan ini mensyaratkan untuk calon gubernur dan wakil gubernur sebesar 10% untuk penduduk kurang dari 2 juta; 8,5% untuk penduduk 2 juta – 6 juta; 7,5% untuk penduduk 6 juta – 12 juta; dan 6,5% untuk penduduk di atas 12 juta jiwa.
Khusus calon bupati dan wakil bupati, 10% untuk penduduk sampai dengan 250.000 jiwa; 8,5% untuk penduduk 250.000-500.000; 7,5% untuk penduduk 500.000-1 juta; dan 6,5% untuk penduduk di atas 1 juta jiwa.
Kenaikan 3,5% dibandingkan undang-undang sebelumnya dari syarat dukungan calon perseorangan yang ditetapkan oleh DPR ini. Angka 6,5% sampai 10% bukanlah jumlah sedikit mudah untuk dicapai bakal calon.
Tetapi beberapa wilayah penyelenggara Pemilu Kada di Sulsel telah lolos dalam penjaringan calon perseorangan ini.
Meskipun secara sadar, para petarung dari jalur independen harus siap menghadapi kekuatan koalisi partai.
Apalagi sejumlah partai politik yang alergi dengan keberadaan jalur perseorangan akan mengganjal kontestan di jalur itu.
Kemampuan mesin partai yang mampu membangun opini publik. Menjadi tantangan kandidat perseorangan untuk bisa memenangkan pertarungan di pemilihan serentak mendatang.
Berbagai strategi telah diterapkan sejumlah koalisi parpol untuk menjegal para calon independen meraih simpati pemilih.
Memasuki tahapan pilkada tahun ini, tampak beberapa calon kandidat independen kesulitan menghadapi serangan kekuatan koalisi parpol-parpol.
Meski diakui kepentingan parpol untuk memperkuat dukungan elite daerah jelang Pilpres 2019 mendatang.
Tidak terlalu berdampak signifikan terhadap dukungan DPD dan DPC di masing-masing wilayah. Istilah cekal mencekal kendaraan secara drastis berubah menjadi begal membegal rekomendasi partai.
Tahapan ini alot terjadi menjelang deadline pendaftran kandidat di masing-masing Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Sulsel. Bahkan, di beberapa wilayah KPU daerah sempat memperpanjang masa pendaftaran.
Akibat sejumlah parpol baik di tingkat pusat, daerah hingga cabang bersiteru dalam menentukan calon yang diusung.
Penetapan calon melalui rekomendasi partai cukup alot dibahas di internal masing-masing partai politik.
Kondisi ini dianggap cukup menguntungkan calon perseorangan untuk fokus mengumpulkan dukungan ktp sebagai syarat mutlak maju di jalur perseorangan.
Belum lagi isu mahar politik di Jawa Timur yang menjadi perbincangan hingga saat ini. Semakin memperkuat posisi calon perseorangan untuk meraih kepercayaan publik.
Politik transaksional yang berhembus di kandidat Pemilu Kada menjadi alat kampanye calon perseorangan untuk merebut hati pemilih.
Meskipun memasuki tahapan verifikasi hingga test kesehatan calon kandidat. Opini bagai bola liar terus bergulir.
Beberapa kader dan loyalis partai mulai bergerak. Mesin partai mengolah isu publik terancam menjegal kandidat perseorangan.
Meski diakui beberapa elite politik daerah ada yang melawan arus hegemoni instrumen partai di tingkat pusat. Kepentingan Pilpres bukan lagi hal yang prioritas.
Beberapa pengurus daerah maupun cabang membuat strategi yang bisa mengamankan posisi mereka pasca Pemilu Kada serentak mendatang.
Elite parpol di tingkat DPD dan DPC tampak kewalahan menentukan figur dan terus berhitung. Mesin partai bergerak seadanya mengikuti setiap tahapan yang berjalan jelang pencoblosan.
Kehadiran calon perseorangan juga membuka mata publik. Para pemilih jauh lebih rasional dalam menentukan sikap di bilik suara nanti.
Istilah melawan kota kosong seperti iming-iming kandidat yang masuk melalui jalur partai.
Bukan lagi hal mutlak yang bisa memenangkan pertarungan di pemilihan serentak nanti.
Kebijakan pengurus pusat agar DPD dan DPC tidak berkoalisi dengan partai yang menjadi tandingan mereka di Pilpres mendatang.
Bisa menjadi peluang kandidat perseorangan mendapat kantong suara. Pasalnya perpecahan partai-partai yang memiliki suara dominan di legislatif.
Jelas akan terbagi dalam memberikan dukungan politik ke kandidat lainnya. Koalisi partai politik akan sibuk mengurus strategi untuk memenangkan calon yang mereka usung.
Mesin partai yang berkoalisi akan bergerak. Posisi ini dimanfaatkan pengurus daerah untuk memilih figur lain. Beruntung bagi kandidat yang maju di jalur independen dan mendapat dukungan dari mesin partai.
Fenomena ini terjadi di beberapa wilayah di Sulsel. Calon pemilih diperhadapkan pada dua kepentingan yang berbeda.
Apakah memilih figur yang memiliki kekuatan parpol atau memilih figur yang betul-betul menjamin aspirasi mereka bisa terserap melalui figur kandidat perseorangan.
Keputusan anda ada di bilik suara yang digelar di pilkada serentak di wilayah Sulsel pada 27 Juni mendatang ? (*)