Jakarta – Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, I Dewa Raka mengatakan KPU tidak bisa menjatuhkan sanksi diskualifikasi kepada peserta Pilkada Serentak 2020, meski melanggar ketentuan pilkada masa pandemi Virus Corona (Covid-19).
"Secara undang-undang, kami tidak bisa menjatuhkan diskualifikasi. Sanksi yang akan kami jatuhkan kepada peserta tentu harus mengacu pada undang-undang yang berlaku," ujar I Dewa Raka dalam webinar yang diselenggarakan Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu Persatuan Wartawan Indonesia (Mappilu PWI), Kamis (1/10/2020).
Dewa menjelaskan, KPU telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terbaru, yakni PKPU No 13 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Dalam PKPU itu telah diatur ketentuan terbaru terkait penyelenggaraan masa Covid-19, terutama terkait kampanye, khususnya berkaitan dengan kampanye tata muka, dan sanksi kepada para pihak, terutama peringatan tertulis dan sanksi administratif. Namun tidak mampu menjerat lebih jauh pelanggar protokol kesehatan sebab tidak didukung aturan yang ada.
"Tetapi memang bukan diskualifikasi peserta," ujar Dewa Raka.
Secara rinci Dewa Raka menjelaskan, sanksi-sanksi kepada peserta Pilkada diatur dalam Pasal 88 PKPU NO 13 tahun 2020. Seperti pada pasal 88B sanksi berupa peringatan tertulis oleh Bawaslu apabila kontestan melanggara iring-iringan kampanye. Bila mengulangi kesalahan maka KPU bisa memberikan sanksi administrasi.
Pasal 88D PKPU NO 13 tahun 2020 sanksi kampanye terbuka antara lain peringatan tertulis, penghentian/pembubaran kegiatan kampanye, dan larangan melakukan kampanye yang melanggar tersebut.
Sementara itu, Bidang Pendidikan, Pelatihan dan Sosialisasi Mappilu PWI Yusuf Susilo Hartono, dalam paparannya menyebutkan, pihaknya menginginkan Pilkada serentak 9 Desember mendatang ialah Pilkada yang Sehat dan Berbudaya.
Pilkada yang di dalamnya mengandung nilai kepatuhan pada 3M (menggunakan masker, cuci tangan dan jaga jarak), sehat birokrasi, sehat anggaran, sehat permainan partai dan calonnya.
“Hingga sehat dalam proses pelaksanaan kampanye, pencoblosan, penghitungan suara, pengawasan, hingga penegakan hukum yang berkeadilan,” ujarnya.
Sementara berbudaya mengandung arti bersih dari politik uang, politik transaksional, bersih dari permainan dinasti, menjunjung tinggi kebenaran, dan sportivitas.
“Selain itu tidak menggunakan jurus Brutus dan Malinkundang. Kedua tokoh dari latar budaya berbeda itu dapat kita tafsir sebagai sosok-sosok pengkhianat,” jelasnya.